Kelas Iqra', usia TK dan SD kelas 1

Anak-anak dibimbing sungguh2, belajar baca Al-Qur'an dari NOL, mulai dari mengenal HURUF. Pengajaran Semi Private. Sambil menunggu temannya, setiap anak haruf aktif membaca sendiri2. Yg sudah diajari juga harus mengulang2 bacaan. Tidak boleh behennti. Tidak ada istilah CAPEK.

Belajar Menulis Arab dan Menghafal

Tidak hanya belajar membaca, juga belajar menulis Arab, belajar menghafal dua kalimat syahadah, doa-doa, kalimat2 thoyyibah, dsb.

Mereka Tabungan Akhirat Kita

Mereka adalah tabungan akhirat kita. Dunia adalah tempat bercocok tanamnya akhirat. Semoga mereka menjadi anak-anak yang sholeh-sholehah, yang paham ilmu agama Islam dan bisa mengajarkannya. Menjadi kebanggaan Rasulullah, kebanggaan guru dan orang tuanya. Berguna dimanapun berada. Amin.

Safinatun Najah dan Sullamut Taufiq

Dua kitab wajib sebagai mata pelajaran. Safinah untuk fiqih dasar dan Sullam yang berisi Aqidah/Tauhid, Fiqih dan Akhlaq sebagai lanjutan. Disamping pelajar lain seperti Aqidatul Awam (aqidah), Alala (akhlak) dan Tajwid.

Ngaji Subuh khusus Fiqih

Semoga program ngaji shubuh ini bisa terus berlanjut dan istiqomah dan mendapat dukungan dari para orang tua (wali). Banyak sekali manfaat dan berkah di waktu shubuh.

Dibuka Pendaftaran Ngaji Kapan Saja

Bisa daftar ngaji kapan saja, yang penting ada niat sungguh-sungguh ingin belajar atau mendidik anak.

Sabtu, 30 April 2022

TATA CARA MINUM KOPI MENURUT ABAH GURU SEKUMPUL

TATA CARA MINUM KOPI MENURUT ABAH GURU SEKUMPUL

Abah Guru Sekumpul adalah sapaan akrab KH.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari. Beliau pernah mengijazahkan makalah Al-Imam Al-Quthub Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Athos yang berangkat dari sumber kitab As-Shufiyatu Fil Mizaan.

Guru Sekumpul menukil keterangan dari gurunya Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Athos, Beliau berkata: Sayyid Ahmad bin Ali-Qadimi bertemu dengan Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga (yaquzhotan). Lalu beliau berkata: Wahai Rasululloh, aku ingin mendengarkan sebuah hadits darimu langsung, dengan tanpa perantara.
Rasululloh Saw menjawab: Aku mengajarkan kepadamu tiga hadits.

Pertama: Selagi aroma kopi masih melekat pada bibir atau mulut manusia, maka para malaikat akan selalu beristigfar (memintakan ampun) kepadanya.

Kedua: Siapa yang mengambil (membawa) tasbihnya untuk berdzikir, maka ditetapkan baginya termasuk orang yang banyak berdzikir (ahli dzikir), dia gunakan berdzikir atau tidak melakukan dzikir.

Ketiga: Siapa yang berkumpul atau se-majelis dengan waliyulloh (kekasih Alloh), baik dalam keadaan hidup atau sudah wafat, maka dia bagaikan menghamba kepada Alloh hingga bumi terbelah-belah (diampuni dosanya dan ditulis beribadah dari lahir sampai mati).

Dan lagi berkata Al-Imam Al-Quthub Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Athos (Qoddasallahu sirrah): Sungguh semua tempat yang tidak dihuni manusia akan dihuni bangsa jin dan tempat yang dipakai buat ngopi tidak akan dihuni oleh bangsa jin, bahkan tidak akan didekati oleh mereka.

Apalagi waktu mau minum kopi disediakan dimajlis ilmu, lalu berniat (berdo'a apa yang dipinta) insyaAllah cepat dikabulkan, Ujar Abah Guru Sekumpul.

Kalam Al-Imam Al-Quthubul Akwan:

1. Sebelum minum kopi, hadiahkan dulu Al-Fatihah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim, karna beliaulah yang pertama kali membawa kopi dan menanamnya di Indonesia hingga bisa dinikmati sampai sekarang, hingga jasa beliau sangat besar untuk para pecinta kopi serbuk khususnya.

2. Baca niat dalam hati: Sengajaku minum kopi mengambil berkat Syekh Abu Bakar bin Salim karna Alloh ta'ala.

3. Baca secara lisan: Nawaitus syifaa bibabrkatil muhammadurasulullah (Mustofa Saw). Insyaaallah jadi obat segala penyakit.

Insyaallah apabila kita rutin mengamalkan, mulut dan hati kita akan jauh dari membicarakan keburukan oranglain, mengumpat, menghina oranglain, yang ada selalu berdzikir dan bersholawat kepada Alloh & RasulullohNya. Wallahu'alam.

اللهم صلى على سيدنا محمد وعلى آله سيدنا محمد

Rabu, 27 April 2022

KISAH SEORANG SYARIFAH MISKIN

KISAH SEORANG SYARIFAH MISKIN

Diceritakan di dalam kitab Rasyafatus Shoodi. Ada seorang syarifah janda ditinggal wafat suaminya dan meninggalkan 3 orang anak perempuan.

Karena tak ada yang dimakan, Sang syarifah meminta pertolongan kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan dia dan 3 orang anaknya. Sampai ketika melihat seorang guru besar Islam beserta para muridnya.

 Pada saat guru besar Islam itu diberitahukan oleh syarifah akan hal keadaannya maka sang guru berucap: "berikan aku bukti bahwa kau syarifah," sambil tidak mau memalingkan wajahnya ke arah syarifah.

Karena dicuekin, sang syarifah pun pergi dengan hampa. Lalu dia melihat ada seorang saudagar kaya yang sedang duduk. 

Sang syarifah bertanya "Siapa orang itu?" 
Maka dijawab: 

"Dia adalah seorang Majusi (penyembah matahari) yang menjadi pengurus kota ini. Karena terpaksa sang syarifah terpaksa minta bantuan kepada si majusi tersebut. Ternyata dia baik hati dan membantu syarifah dan anak-anaknya.

 Sehingga mereka disuruh bermalam di rumahnya dan makan makanan yang enak serta menginap dengan keadaan yang sangat lebih baik dari sebelumnya.
Pada malam itu sang guru besar Islam bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat hari kiamat, dan melihat ada istana megah luar biasa di surga.

Kaum muslimin masuk surga atas perintah Rasulullah SAW. Akan tetapi Rasul berpaling muka atas sang guru besar Islam. Sang guru berkata: "Ya Rasulullah, kenapa engkau enggan memandangku padahal aku muslim?

Maka Nabi SAW menjawab: "berikan aku bukti bahwa kau memang muslim!" Sang guru-pun panik luar biasa. 

Kemudian Rasul SAW berucap: "Ingatkah engkau di dunia pernah berkata sedemikian pada cucuku".
Akhirnya sang guru terbangun dari tidur dan menangis dahsyat. Lalu bergegas menyuruh muridnya mencari sang syarifah ke penjuru kota.

Alhasil, sang guru tahu bahwa sang syarifah di tempat saudagar majusi. Sang gurupun bergegas kesana. Saat bertemu saudagar majusi, sang guru berucap: "wahai fulan, tolong serahkan si syarifah padaku. Aku mau memuliakan beliau.

" Si saudagar majusi menolak dan tidak mau menyerahkan sang syarifah. Kemudian sang guru besar memaksa saudagar majusi dan menawarkan sejumlah harta yang besar agar sang syarifah diserahkan padanya. Tapi sang saudagar tetap menolak. Akhirnya sang guru besar bercerita perihal mimpinya pada si saudagar majusi.

Saudagar berucap: "ketahuilah wahai guru besar. Sesungguhnya istana yang sangat megah yang kau lihat dalam mimpi itu kepunyaanku. Itu sebagai hadiah kecil yang diberikan padaku karena aku telah menolong sang syarifah serta anak-anaknya. Dan ketahuilah bahwa aku, istriku, anak-anakku, serta semua yang ada di rumahku telah bersaksi:

" LAA ILAAHA ILLALLAAH WA ANNA
MUHAMMADAR RASULULLAAH." Kami masuk Islam lantaran keberkahan yang dibawa syarifah. Dan di dalam mimpi Rasulullah SAW berkata padaku: "sesungguhnya engkau telah ditakdirkan sebaga muslim serta keluargamu."

Sang guru besarpun menangis terisak-isak dan sangat menyesali perbuatannya. Beginilah salah satu kisah dari sekian banyak kisah keutamjaan memuliakan para anak-cucu, ahlul bait Nabi SAW. 

۞ اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞

Semoga kita semua termasuk orang yang dimuliakan oleh Allah lantaran punya cinta kepada Ahlul bait Rasulullah SAW...aamiin

Kemuliaan Akhlak Sayyid Muhammad Bin Alwi al-Maliki


۞ اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 

Syeikh Abdul Qadir As-Sindi adalah tokoh Wahabi yang sangat membenci Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Ia pernah menulis artikel berisi fitnah kepada Sayyid Maliki yang kemudian dimuat di majalah Al-Jama'ah Madinah Al-Munawwarah.

Diantara isi fitnah tersebut adalah menuduh Sayyid Maliki sesat serta mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam.

Ketika artikel tersebut tersebar hingga ke beberapa negara, banyak ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah yang bereaksi dan meminta Sayyid Maliki untuk membuat pembelaan. Namun Sayyid Maliki membiarkannya tanpa membuat pembelaan.

Beberapa waktu kemudian, Sayyid Maliki mengajak beberapa muridnya untuk pergi ke Madinah dengan membawa uang banyak. Murid-muridnya tidak ada yang mengetahui untuk apa atau siapa uang tersebut.

Hingga sampai di suatu tempat, Sayyid Maliki turun membawa uang tadi menuju sebuah rumah. Beliau berjalan sendiri dengan menutup kepalanya menggunakan rida, sehingga sulit dikenali orang lain.

Sayyid Maliki lalu memberikan uang tersebut kepada sang tuan rumah. Tanpa mengenalkan dirinya, beliau pergi hingga akhirnya sang tuan rumah menyadari sendiri bahwa yang telah memberinya uang adalah Sayyid Maliki.

Sang tuan rumah yang tak lain adalah Syeikh As-Sindi, kemudian berlari mengejar Sayyid Maliki, lalu merangkulnya, menciuminya dan berkata, "Tuan tentu Sayyid Muhammad Al-Maliki. Sekarang aku yakin bahwa Tuan adalah keturunan Rasulullah, sebab tidak ada yang membalas cacian dengan hadiah, kecuali ia seorang keturunan Rasulullah."

Syeikh As-Sindi lalu meminta maaf, dan Sayyid Maliki pun memaafkannya. Semenjak itu Syeikh As-Sindi keluar dari faham Wahabi dan menjadi pengikut Sayyid Maliki.

Kisah diatas mengingatkan kita pada akhlak Imam Ali Zainal Abidin yang memberi hadiah kepada orang yang mencacinya. Orang tersebut menjadi malu dan bersaksi bahwa Imam Ali benar-benar seorang keturunan Rasulullah yang layak diikuti.

[Disadur dari kitab Al-Injaz Fi Karamatil Fakhril Hijaz karya Habib Mustafa Al-Jufri dengan beberapa penyesuaian.]

Selasa, 26 April 2022

Kemuliaan Akhlak Sayyid Muhammad Bin Alwi al-Maliki


۞ اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 

Syeikh Abdul Qadir As-Sindi adalah tokoh Wahabi yang sangat membenci Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Ia pernah menulis artikel berisi fitnah kepada Sayyid Maliki yang kemudian dimuat di majalah Al-Jama'ah Madinah Al-Munawwarah.

Diantara isi fitnah tersebut adalah menuduh Sayyid Maliki sesat serta mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam.

Ketika artikel tersebut tersebar hingga ke beberapa negara, banyak ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah yang bereaksi dan meminta Sayyid Maliki untuk membuat pembelaan. Namun Sayyid Maliki membiarkannya tanpa membuat pembelaan.

Beberapa waktu kemudian, Sayyid Maliki mengajak beberapa muridnya untuk pergi ke Madinah dengan membawa uang banyak. Murid-muridnya tidak ada yang mengetahui untuk apa atau siapa uang tersebut.

Hingga sampai di suatu tempat, Sayyid Maliki turun membawa uang tadi menuju sebuah rumah. Beliau berjalan sendiri dengan menutup kepalanya menggunakan rida, sehingga sulit dikenali orang lain.

Sayyid Maliki lalu memberikan uang tersebut kepada sang tuan rumah. Tanpa mengenalkan dirinya, beliau pergi hingga akhirnya sang tuan rumah menyadari sendiri bahwa yang telah memberinya uang adalah Sayyid Maliki.

Sang tuan rumah yang tak lain adalah Syeikh As-Sindi, kemudian berlari mengejar Sayyid Maliki, lalu merangkulnya, menciuminya dan berkata, "Tuan tentu Sayyid Muhammad Al-Maliki. Sekarang aku yakin bahwa Tuan adalah keturunan Rasulullah, sebab tidak ada yang membalas cacian dengan hadiah, kecuali ia seorang keturunan Rasulullah."

Syeikh As-Sindi lalu meminta maaf, dan Sayyid Maliki pun memaafkannya. Semenjak itu Syeikh As-Sindi keluar dari faham Wahabi dan menjadi pengikut Sayyid Maliki.

Kisah diatas mengingatkan kita pada akhlak Imam Ali Zainal Abidin yang memberi hadiah kepada orang yang mencacinya. Orang tersebut menjadi malu dan bersaksi bahwa Imam Ali benar-benar seorang keturunan Rasulullah yang layak diikuti.

[Disadur dari kitab Al-Injaz Fi Karamatil Fakhril Hijaz karya Habib Mustafa Al-Jufri dengan beberapa penyesuaian.]

Senin, 25 April 2022

Inspirasi Ramadhan: Semua adalah Milik Allah

“Inspirasi” Ramadhan: semua adalah milik Allah (oleh Sayyid Hamid Bin Sayyidil Habib Umar Bin Hafidz, diterjemahkan oleh debu sandal mulia beliau Muhammad Ismael Al Kholilie) 

“Suatu hari seorang kaya yang baik dan dermawan bertemu dengan seorang miskin yang tidak memiliki apa-apa. orang baik itu kemudian mengajak si miskin ke rumahnya, ia memuliakannya dan menjamunya dengan aneka makanan dan minuman lezat. dan si miskin itu, setiap kali ia mengambil jamuan yang ada di hadapannya. ia mengambilnya dengan rasa malu, hatinya juga penuh dengan rasa sungkan. 

Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya si miskin mulai terbiasa dengan jamuan dan penghormatan yang luar biasa itu. dan perlahan ia mulai lupa akan keadaannya di masa lampau, ia mulai tidak menyadari “status”-nya dulu sebagai si miskin yang bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Ia juga mulai lupa bahwa semua jamuan yang ia terima adalah murni pemberian dari tuan rumah yang sangat baik itu. karena sudah terbiasa, akhirnya ia mulai tidak malu-malu lagi, adabnya yang dulu penuh rasa hormat dan sungkan kini perlahan mulai hilang. Hingga akhirnya ia mulai mengira bahwa semua jamuan yang ada dihadapannya adalah miliknya, yang boleh ia perbuat semaunya. ia makan tanpa izin dari tuan rumah dulu, ia juga memberikan aneka makanan dan minuman itu kepada para temannya, sekali lagi tanpa izin dari tuan rumah.  

Ketika melihat sikap si miskin yang mulai tidak sopan, akhirnya si tuan rumah menghentikan jamuannya itu. si miskin, ketika melihat tuan rumah tidak lagi memberinya jamuan, ia akhirnya sadar dan kembali ke “akal sehat”-nya. ia mulai menyadari betul bahwa semua jamuan yang ada di hadapannya bukanlah miliknya, jika iya, tidak mungkin ia “dihalangi” dari semua itu. 

Di hari berikutnya, ketika melihat bahwa si miskin sudah mulai sadar. tuan rumah yang baik hati itu kembali mengeluarkan jamuan-jamuan lezat itu. dan si miskin kembali ke “keadaannya” yang semula, dimana ia menerima semua jamuan itu dengan rasa sungkan dan penuh adab. Karena rasa dan sikap kurang ajarnya dengan menganggap jamuan itu adalah miliknya kini hilang setelah satu hari saja jamuan itu dihentikan darinya. 

Kita semua datang ke dunia ini dalam keadaan tidak punya apa-apa.. kemudian Allah memberikan kita berbagai anugrah dan nikmatnya mulai dari harta, kesehatan, dan menumpahkan untuk kita nikmat-nikmat lainnya. Ketika seorang mu’min menyadari hakikat ini, maka ia akan merasa malu dan sungkan kepada Allah, yang membuatnya selalu menjaga adab dalam nikmat-nikmat yang Allah berikan. 

Akan tetapi “hijab terbiasa” seringkali menghalangi seseorang dari apa yang selama ini ia yaqini tanpa ada ragu sama sekali. Akhirnya ia mengira bahwa semua yang ia punya adalah mutlak hak miliknya. 

Ketika ia ada di lingkaran asumsi itu, datanglah bulan Ramadhan yang mencegahnya dari makan, minum dan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaannya. yang menghalanginya dari hal-hal yang ia sukai selama ini. 

Akhirnya ia kembali sadar, dan mulai mengingat kembali hakikat yang selama ini ia lupakan bahwa apa yang ia punya selama ini sejatinya bukan miliknya. itu semua adalah murni pemberian Allah, murni Anugrah dari Allah, ia tidak memiliki apapun meski hanya sekecil biji sawi. 

Rasa lapar dan haus di terik siang bulan Ramadhan membuatmu paham, ketika air dingin dan makanan lezat ada di hadapanmu, dan semua itu engkau dapatkan dengan jerih-payahmu sendiri. Kemudian engkau hanya bisa melihatnya tanpa berani menyentuh satupun air atau anekan makanan itu, sedangkan rasa lapar sudah mulai mencubit perutmu. Mengapa ? Karena Pemiliknya yang sejati sekarang melarang dirimu untuk menyentuhnya.. 

Andai saja Allah yang mencegahmu dari semua itu bukanlah pemiliknya yang hakiki, maka larangannya atas dirimu akan menjadi ikut campur atau interfensi yang tidak penting, dan engkau tentu tidak akan mengindahkan larangannya. 
Akan tetapi engkau patuh dan tunduk kepada perintah-Nya, apakah itu semua tidak membuatmu sadar bahwa engkau dan semua yang kau miliki pada hakikatnya adalah milik Allah semata ? 

Engkau tidak mampu menikmati makanan itu di siang hari Ramadhan meskipun hanya sebutir nasi, karena sejatinya semua itu memang bukan milikmu, andai betul semua itu adalah hak milikmu maka tak kan ada satupun yang bisa melarangnya darimu..

Di bulan Ramadhan, beberapa saat sebelum maghrib engkau melihat orang-orang duduk mengelilingi aneka makanan dan minuman yang ada di depan mereka, dan tak ada satupun diantara mereka yang berani menyentuh semua itu, mereka hanya bisa memandangnya saja. seakan-akan mereka ada dalam sebuah jamuan dan mereka sedang menunggu tuan rumah berkata kepada mereka : silahkan.. makanlah.. 

Ya, mereka memang seperti itu. mereka menunggu pemilik jamuan itu memberi izin dan mempersilahkan mereka. dan Ia telah menjadikan terbenamnya matahari sebagai tanda dari izin-Nya. 

Apakah semua moment itu tidak membuatmu sadar bahwa selama ini engkau ada dalam jamuan agung Allah ? Yang Allah buka selebar-lebarnya untuk dirimu sepanjang tahun dan hanya Ia tutup dalam waktu yang sangat sebentar di bulan Ramadhan ? 

Apakah semua itu juga tidak cukup membuatmu sungkan dan malu kepada Allah ? Lalu bersyukur kepada-Nya dengan menggunakan nikmat-nikmat pemberian-Nya dalam hal-hal yang Ia Ridhoi ? 

Sepanjang tahun engkau tau bahwa barang yang ada di tangan orang lain bukanlah milikmu, dan engkau tidak boleh Menggunakan barang itu tanpa izin pemiliknya. akan tetapi di bulan Ramadhan engkau juga dipaksa mengakui bahwa semua yang engkau punya sekalipun sejatinya juga bukanlah milikmu. dan tak seharusnya engkau menggunakan semua itu kecuali dengan Ridho dan izin pemilik sejatinya yaitu Allah. 

Ya Allah berilah kami pertolongan untuk bisa memahami-Mu, dan karuniai kami adab yang sempurna kepada-Mu, dan sempurnakanlah bagian kami dari ibadah puasa kami, dan dari semua kebaikan yang kau berikan kepada hamba-hamba-Mu wahai Dzat yang Maha kuasa atas segala sesuatu 

( selesai diterjemahkan diatas ketinggian 6096 meter, dalam pesawat Garuda Indonesia, rute Jakarta-Surabaya 22 April 2022 )

Selasa, 12 April 2022

ULASAN TENTANG SIFAT 'ULUW ANTARA MAZHAB ASY'ARI DAN HANBALI || Tentang ISTIWAK

ULASAN TENTANG SIFAT ULUW ANTARA MAZHAB ASY'ARI DAN HANBALI 

Oleh: Gus Dodi ElHasyimi 

Kembali saya mengkritik tulisan Mbak Gayatri Fasya Jauhari ...... 🤣🤣🤣

Dia mengatakan madzhab Hanbali berbeda dalam memahami SIFAT ULUW dengan madzhab Asy'ariy, padahal sama aja pemahaman kedua madzhab ini, yang berbeda itu justru madzhab Wahabi Salafy dan madzhab Hanbali...... 🤣🤣🤣

Mari kita bandingkan Madzhab Hanbali (Syaikh Abdul Qadir) dan Madzhab Asy'ary (Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy) :

Dibuktikan bahwa Madzhab Asy'ary juga berpendapat Allah memiliki sifat uluw (Maha Tinggi) oleh Ibnu Hajar Al Asqalani sama dengan Madzhab Hanbali :

Perbedaan antara uluw dan jihah adalah seperti dijelaskan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani al Asy'ari berikut:

وَلَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ جِهَتَيِ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ مُحَالٌ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُوصَفَ بِالْعُلُوِّ لِأَنَّ وَصْفَهُ بِالْعُلُوِّ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى وَالْمُسْتَحِيلُ كَوْنُ ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ الْحِسِّ ³

"Kemustahilan arah atas dan bawah bagi Allah tidak berkonsekuensi bahwa Allah tidak disifati dengan sifat uluw (Maha Tinggi) sebab menyifati Allah Maha Tinggi adalah dari segi maknawi sedangkan yang mustahil adalah dari segi fisikal".

Kemudian Syaikh Abdul Qadir juga berpendapat sama :

وهو بجهة العلو مستو على العرش محتو على الملك محيط بعلمه على الأشياء

Dia berada di arah yang tinggi, istiwa' di atas arsy terkandung kekuasaan, meliputi dengan ilmunya atas segaka sesuatu.

Lalu apanya yg berbeda bila Madzhab Hanbali dan Asy'ary berkata kalo Allah sama-sama punya sifat uluw...??? 🤣🤣🤣

Saya buktikan lagi, ini perkataan ulama Asy'ariy :

Imam Gozali al Asy'ariy (w 505 H) :

ﻭﺃﻧﻪ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﺵ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺬﻱ ﻗﺎﻟﻪ ﻭﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ اﻟﺬﻱ ﺃﺭاﺩﻩ اﺳﺘﻮاء ﻣﻨﺰﻫﺎ ﻋﻦ اﻟﻤﻤﺎﺳﺔ ﻭاﻻﺳﺘﻘﺮاﺭ ﻭاﻟﺘﻤﻜﻦ ﻭاﻟﺤﻠﻮﻝ ﻭاﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻻ ﻳﺤﻤﻠﻪ اﻟﻌﺮﺵ ﺑﻞ اﻟﻌﺮﺵ ﻭﺣﻤﻠﺘﻪ ﻣﺤﻤﻮﻟﻮﻥ ﺑﻠﻄﻒ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻣﻘﻬﻮﺭﻭﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻀﺘﻪ

Dia beristiwa di atas arasy sebagaimana yang Dia firmankan, dengan Maksud yang Dia kehendaki, tanpa persentuhan, tanpa menempati benda, tanpa menetap di tempat, tanpa masuk pada benda, dan tanpa berpindah pindah. Allah tidak dipikul oleh arasy justru arasy dan malaikat pemikulnyalah yang dipikul oleh kelembutan kekuasaanNya dan dikuasai penuh dalam genggamanNya.

ﻭﻫﻮ ﻓﻮﻕ اﻟﻌﺮﺵ ﻭاﻟﺴﻤﺎء ﻭﻓﻮﻕ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺇﻟﻰ ﺗﺨﻮﻡ اﻟﺜﺮﻯ ﻓﻮﻗﻴﺔ ﻻ ﺗﺰﻳﺪﻩ ﻗﺮﺑﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﻌﺮﺵ ﻭاﻟﺴﻤﺎء ﻛﻤﺎ ﻻ ﺗﺰﻳﺪﻩ ﺑﻌﺪا ﻋﻦ اﻷﺭﺽ ﻭاﻟﺜﺮﻯ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺭﻓﻴﻊ اﻟﺪﺭﺟﺎﺕ ﻋﻦ اﻟﻌﺮﺵ ﻭاﻟﺴﻤﺎء ﻛﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﺭﻓﻴﻊ اﻟﺪﺭﺟﺎﺕ ﻋﻦ اﻷﺭﺽ ﻭاﻟﺜﺮﻯ

Allah di atas arasy di atas langit di atas segala sesuatu hingga dasar bumi. KetinggianNya tidak menambah semakin dekat kepada arasy dan langit, juga tidak membuatNya semakin jauh dari bumi dan dasar bumi. Akan tetapi Dia maha tinggi derajatnya dari arasy dan langit, sebagaimana Dia maha tinggi derajatnya dibanding bumi dan dasar bumi.

ﻭﻫﻮ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻗﺮﻳﺐ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻭﻫﻮ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ اﻟﻌﺒﺪ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ اﻟﻮﺭﻳﺪ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺷﻬﻴﺪ ﺇﺫ ﻻ ﻳﻤﺎﺛﻞ ﻗﺮﺑﻪ ﻗﺮﺏ اﻷﺟﺴﺎﻡ ﻛﻤﺎ ﻻ ﺗﻤﺎﺛﻞ ﺫاﺗﻪ ﺫاﺕ اﻷﺟﺴﺎﻡ

Meskipun begitu, Dia tetap dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat kepada hambanya melebihi dekatnya urat nadi. Dia menyaksikan segala sesuatu. Sebab, kedekatanNya berbeda sama sekali dengan kedekatan suatu benda. Sebagaimana zatNya sama sekali berbeda dengan zat benda.

ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻓﻲ ﺷﻲء ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻓﻴﻪ ﺷﻲء ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﺤﻮﻳﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﺱ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﺤﺪﻩ ﺯﻣﺎﻥ ﺑﻞ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺧﻠﻖ اﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭاﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ اﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ

Dia tidak masuk ke dalam sesuatu, dan tidak dimasuki sesuatu. (Tidak bertempat dan tidak ditempati). Maha Suci Allah. Tidak mungkin Dia dikelilingi oleh tempat (ruang), sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu. Allah telah ada sebelum Dia menciptakan waktu dan sebelum dia menciptakan tempat. Saat ini Dia masih dalam keadaan yang sama (tidak bertempat dan tak dibatasi waktu).(Imam Al Gozali, Ihya' Ulumuddin, jilid 1, Hal. 332-333)

Sedang Syaikh Abdul Qadir al Jailani (w 561 H) mengatakan :

ولا يجوز عليه الحد ولا نهاية ولا قبل ولا بعد ولا تحت ولا قدام ولا خلف ولا كيف لأن جميع ذلك ما ورد به الشرع إلا ما ذكرناه من أنه على العرش استوى على ورد به القرآن والأخبار بل هو عز وجل خلق لجميع الجهات

Tidak boleh menetapkan batasan bagi allah, tidak Menetapkan batas akhir, tidak ada sebelumnya, tidak ada sesudahnya, tidak ada di bawahnya, tidak ada di depannya ,tidak ada di belakangnya dan tidak ada kaif (gambaran), karena semua itu adalah apa apa yg mana sesuai dengan syariat. kecuali apa yg telah kami sebutkan : sesungguhnya allah beristawa di atas arsy adalah berdasarkan apa yang datang pada al quran dan hadits hadits, bahkan dialah allah azza wa jalla Mencipta semua arah.(Abdul Qadir, Al ghunyah, Hal. 168)

Mari kita bandingkan pula dengan aqidah Asyariyah, seperti :

Imam Asy’ary (w 323 H) Tentang Istiwa Menafikan Makna Menguasai, Duduk dan Bertempat (Tinggal)

ولم يقولوا شيئا إلا ما وجدوه في الكتاب أو ما جاءت به الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم .. (٦)وقالت المعتزلة : إن الله استوى على عرشه بمعنى استولى ( ۷ ) وقال بعض الناس : الاستواء القعود والتمكن .

Dan Mereka(Ahlu Sunnah dan Ahli Hadis) Tidak Pernah Mengatakan Sesuatu kecuali Apa mereka Temukan Di dalam Al Quran atau yang datang Dalam Hadis Rasulullah Shollahu 'alaihi Wasallam (6) Berkata Muktazilah Sesungguhnya Allah Istiwa dengan Makna Menguasai (7) Berkata Sebagian Manusia Istiwa Itu adalah Duduk dan Bertempat (Imam Asy'ary, Maqalat Islamiyyin, Jilid 1, Hal. 185)

- Imam Asy'ary (w 323 H) Tentang Istiwa
 
فدل على أن الله تعالی منفرد بوحدانيته مستو على عرشه استواء منزه عن الحلول والاتحاد

Maka Ia Menunjukkan Bahwa Sesungguhnya Allah Ta'ala Sendirian Dengan Keesaannya Istiwa di Atas Arasy Maha Suci Ia dari Hulul(masuk ke dalam Suatu) dan Ittihad(Menyatu Dengan Mahluk).(Imam Asy'ary, Al Ibanah, Hal. 100) 

- Imam Asy'ary (w 323 H) Tentang Istiwa 

وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار 

Dan Sesungguhnya Dia Istiwa di Atas Arasynya Tanpa Kaif dan Tanpa Bertempat(Imam Asy'ary, Al Ibanah, Hal. 102)

Ternyata aqidah Asy'ariy sama dengan aqidah Al Imam Abu Ja'far Ath Thahawi (yang disepakati sebagai imamnya ahlus sunnah wal jamaah)

Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi (w 321 H) berkata: 

"تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ" 

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti makhluk-Nya".(Ath Thahawi, Aqidah Thahawiyah, Hal. 13).

Dalam permasalahan TAFWEEDH apakah madzhab Asy'ariy sama dengan Madzhab Hanbali ???? Ya sama aja, Tafweedh adalah mengimani lafadz-lafadz nash dan menyerahkan MAKNANYA kepada Allah/Nabi Muhammad shalllallaahu 'alaihi wa sallam, ini buktinya :

Dan Tafweedh dari ulama madzhab Asy'ariy :

- Imam al-Haramain Abu al-Ma'âlî al-Juwainî al Asy'ariy di dalam kitab beliau sendiri yang berjudul al-Aqîdah an-Nizhâmiyyah :

العقيدة النظامية ص 33
وذهب أئمة السلف على الإنكفاف عن التأويل، وإجراء الظواهر على مواردها، وتفويض معانيها إلى الرب تعالى

Para imam ulama Salaf berpendapat untuk menahan diri melakukan takwil dan menetapkan ZHAHIR sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Al Quran dan Hadis Sahih (mawarid) dan MENYERAHKAN MAKNA-MAKNA LAFAZH NASH SIFAT KEPADA ALLAH TA'ÂLÂ.

- Al Imam Nawawi al Asy'ariy di dalam kitab Syarhul Muslim mengenai Aqidah golongan pertama yaitu Aqidah mayoritas atau semua SALAF (yg berfaham tafweedh) adalah :

 أنه لا يتكلم في معناها 

Mereka TIDAK MEMBICARAKAN MAKNANYA (NASH2 SIFAT TSB)

http://islamport.com/d/1/srh/1/37/817.html

Sedangkan tafweedh dari ulama Hanbali :

- Syaikh Abdul Qodir al Jilani dalam Al Ghunyah pada halaman 86 berkata,

وما اشكل من ذلك وجب اثباته لفظا وترك التعرض لمعناه ونرد علمه الى قائله ونجعل عهدته على ناقله

“Sifat-sifat Allah yang musykil (mutasyabihat) wajib di itsbatkan secara LAFAZH dan menjauhi membahas maknanya serta mengembalikan maknanya kepada Pengucapnya (Allah atau Rasul-Nya) (TAFWIDH). Dan tanggung jawab diserahkan kepada yang menukilnya”.

Jadi kesimpulannya Syaikh Abdul Qodir al Jilani mengikuti Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala. 

- Menurut Syaikh Muhammad as-Safarini al-Hanbali diantara butir-butir akidah seluruh ulama Hanabilah, plus diklaim sama dengan akidah Salaf adalah:

فإذا ورد القرآن العظيم وصحيح سنة النبي الكريم - عليه أفضل الصلاة وأتم التسليم -، بوصف للباري جل شأنه؛ تلقيناه بالقبول والتسليم، ووجب إثباته على الوجه الذي ورد، ونكل معناه للعزيز الحكيم، ... الخ (لوامع الأنوار البهية وسواطع الأسرار الأثرية ج ١ ص ١٠٧)

"Apabila terdapat dalam al-Quran Adziim dan Sunnah Nabiyul Kariim -alaihish sholatu wa atammut tasliim- yang valid, menyifati Allah Yang Maha Pencipta, maka itu akan diterima dengan sepenuhnya, ditetapkan seperti apa adanya, dan kami menyerahkan MAKNANYA kepada Allah yg Maha Aziiz serta Hakiim..."
(Lawaami'ul Anwaar wa Sawaathi'ul Asraar Atsariyyah juz 1 hal.107)

- Al Imam Ibnu Qudamah Al Hanbali dalam Lum’atul I’tiqad :

ﻟﻤﻌﺔ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ - ( ﺝ 1 / ﺹ 3 )
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻲ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : « ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻨﺰﻝ ﺇﻟﻰ ﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ » ، ﺃﻭ « ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺮﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ » ، ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ، ﻭﻧﺼﺪﻕ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ ﻛﻴﻒ ، ﻭﻻ ﻣﻌﻨﻰ ، ﻭﻻ ﻧﺮﺩ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻨﻬﺎ ، ﻭﻧﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ ﺑﻪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺣﻖ ، ﻭﻻ ﻧﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻭﻻ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﻏﺎﻳﺔ } ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﺒَﺼِﻴﺮُ { [ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ : 11 ] ، ﻭﻧﻘﻮﻝ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ، ﻭﻧﺼﻔﻪ ﺑﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ، ﻻ ﻧﺘﻌﺪﻯ ﺫﻟﻚ ، ﻭﻻ ﻳﺒﻠﻐﻪ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻮﺍﺻﻔﻴﻦ ، ﻧﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻠﻪ ﻣﺤﻜﻤﻪ ﻭﻣﺘﺸﺎﺑﻬﻪ ، ﻭﻻ ﻧﺰﻳﻞ ﻋﻨﻪ ﺻﻔﺔ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺗﻪ ﻟﺸﻨﺎﻋﺔ ﺷﻨﻌﺖ ، ﻭﻻ ﻧﺘﻌﺪﻯ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ، ﻭﻻ ﻧﻌﻠﻢ ﻛﻴﻒ ﻛﻨﻪ ﺫﻟﻚ ﺇﻻ ﺑﺘﺼﺪﻳﻖ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻭﺗﺜﺒﻴﺖ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ) .

Imam Ahmad bin Hambal Ra berkata mengenai sabda nabi SAW : “Allah nuzul ke langit dunia” atau “sesungguhnya Allah dapat dilihat di hari kiamat” dan nash-nash yang serupa dengan hadis-hadis ini : “Kami mengimaninya dan membenarkannya, TANPA KAIFIYYAH, TANPA MAKNA dan kami tidak menolak sedikitpun. Dan Kami mengetahui bahwa apa yg dibawa oleh Rasulullah SAW itu HAQ dan Kami tidak pernah menolak kepada Rasulullah SAW. Kami tidak menyifati Allah lebih dari apa yang Allah sifatkan pada diri-NYA sendiri dengan TANPA HAD (batasan) dan GHOYAH (puncak akhiran). Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat… dst

ﻟﻤﻌﺔ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ - ( ﺝ 1 / ﺹ 4 )
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ : ﺁﻣﻨﺖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺁﻣﻨﺖ ﺑﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ .

Imam Syafi’i Ra berkata : Aku beriman kepada Allah terhadap apa saja yang datang dari-NYA menurut APA YANG DIKEHENDAKI OLEH ALLAH, dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah MENURUT APA YANG DIKEHENDAKI OLEH RASULULLAH

- Al Imâm Ibnu Qudâmah Al Hambalî dalam kitab Tahrîmun Nazhar :

تحريم النظر في كتب الكلام - (ج 1 / ص 59)
 وأما إيماننا بالآيات وأخبار الصفات فإنما هو إيمان بمجرد الألفاظ التي لا شك في صحتها ولا ريب في صدقها وقائلها أعلم بمعناها فآمنا بها على المعنى الذي أراد ربنا تبارك وتعالى فجمعنا بين الإيمان الواجب ونفي التشبيه المحرم 
 وهذا أسد وأحسن من قول من جعل الآيات والأخبار تجسيما وتشبيها وتحيل على إبطالها وردها فحملها على معنى صفات المخلوقين بسوء رأيه وقبح عقيدته ونعوذ بالله من الضلال البعيد

Adapun keimanan kita kepada ayat-ayat dan khabar2 sifat, maka sesungguhnya hanya MURNI BERIMAN KEPADA LAFADZ-LAFADZ YANG TIDAK DIRAGUKAN KESAHIHANNYA DAN KEBENARANNYA, SERTA PENGUCAPNYA (ALLAH) ADALAH YANG MAHA MENGETAHUI MAKNANYA, maka KAMI MENGIMANINYA KEPADA MAKNA YANG DIKEHENDAKI OLEH RABB (TUHAN) KITA TABÂRAKA WA TA’ÂLÂ. Maka kita mengumpulkan antara keimanan yang wajib dan meniadakan tasybih yg diharamkan. Demikian inilah yang lurus dan lebih bagus dibandingkan dengan ucapan orang yg menjadikan ayat-ayat dan khobar-khobar tsb sebagai penjisiman, pentasybihan dan melakukan pembatalan serta menolaknya kemudian mengarahkannya ke makna sifat-sifat makhluk dengan sebab buruknya pendapat dan aqidahnya. Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan yang jauh.

Sedang TAFWEEDH menurut Syaikh Ibnu Taimiyyah (w 728 H) yang diikuti oleh Wahabi Salafi, beliau berkata : 

فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد 

“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)

Jadi yang berbeda adalah antara madzhab Hanbali dan madzhab Wahabi Salafi (yang mengikuti methode ITSBAT, yaitu menetapkan lafadz-lafadz nash namun masih memaknai sesuai dengan zhahir bahasa)..... 😁😁😁

Sekarang kita coba buktikan Madzhab Hanbali dan Madzhab Wahabi Salafy adalah berbeda :

Syaikh Abdul Qadir Al Jailani (bermadzhab Hanbali) berkata :

فالاستواء من صفات الذات كالسمع.. والحياة

Istiwa adalah sebagian dari sifat-sifat dzat, seperti sifat mendengar,.. dan sifat hidup..
Kitab Al Ghunyah.

Aqidah Syaikh Abdul Qadir meyakini istiwa adalah sifat dzat. Sifat dzat itu azaliyah (tidak berawwal), sama seperti sifat hidup. Jika Allah memiliki sifat hidup sebelum Arsy diciptakan, maka sama halnya sifat istawa sudah ada sebelum Arsy diciptakan. Mustahil dong maknanya tinggi berada di atas, khan di zaman azali tidak ada arah atas, bawah, kiri, kanan dsb. Masa gitu aja ga faham... ??? 🤣🤣🤣

Sedangkan Ibnu Utsaimin (bermanhaj Wahabi Salafy) mengatakan Istawa sifat perbuatan yang muhdats (baru). Tidak ada istawa sebelum Arsy diciptakan :

ﻓﺎﻟﺬاﺗﻴﺔ: ﻫﻲ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﻭﻻ ﻳﺰاﻝ ﻣﺘﺼﻔﺎ ﺑﻬﺎ ﻛﺎﻟﺴﻤﻊ ﻭاﻟﺒﺼﺮ.
ﻭاﻟﻔﻌﻠﻴﺔ: ﻫﻲ اﻟﺘﻲ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﻤﺸﻴﺌﺘﻪ ﺇﻥ ﺷﺎء ﻓﻌﻠﻬﺎ، ﻭﺇﻥ ﺷﺎء ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻬﺎ ﻛﺎﻻﺳﺘﻮاء ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﺵ،

Sifat dzatiyyah adalah sifat yang azaliyah )tiada awwwal), yang disifati dengannya seperti mendengar dan melihat.
Dan sifat fi'liyyah perbuatan adalah sifat yang terkait dengan kehendaknya, jika berkehendak Allah melakukannya, jika tidak berkehendak Allah tidak melakukannya, seperti istiwa alal Arsy.
Kitab Majmu' Fatawa. Hal. 15. Juz 5.

ﻓﺎﻻﺳﺘﻮاء ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﺵ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻖ اﻟﻌﺮﺵ،

Istiwa alal arsy tidak ada kecuali sesudah penciptaan Arsy.
Kitab Majmu Fatawa. Hal. 125. Juz 1.

Itu artinya menurut Ibnu Utsaimin tidak ada sifat istiwa sebelum Arsy diciptakan. Tidak bisa disamakan dengan sifat hidup. Yang demikian karena menurut Ibnu Utsaimin makna istawa itu adalah 

في جهة العلو 

berada di arah ketinggian (berada di arah atas) secara hakiki.

Sedangkan Syaikh Abdul Qadir tidak pernah menjelaskan makna istiwa demikian.

Yang ditolak Syaikh Abdul Qadir hanyalah masalah takwil. Karena syaikh menghendaki memutlakkan sifat istawa (menetapkan sesuai lafadz yang ada disertai mensucikannya dari makna-makna hadits)

وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل وإنه استواء الذات على العرش

Dan seyogyanya memutlakkan sifat istiwa dengan tanpa takwil dan sesungguhnya Allah beristiwa dzatnya di atas arsy.
Kitab Al Ghunyah.

Syaikh berkata seyogyanya, bukan wajib.
Artinya syaikh tidak mewajibkan umat muslim menempuh jalannya. Karena syaikh mengetahui sebagian ahlussunnah mentakwil istiwa.

Faham atau tidak ??? 🤣🤣🤣

Wallaahu a'lam.....

____________
NB: Ulasan di atas ditulis oleh Gus Dodi di lapaknya sebagai sanggahan atas tulisan Ibu Gayatri yang mengkritik tulisan saya sebelum ini tentang Akidah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, sebagaimana di SS. Saya bagikan di sini sebagai arsip (aslinya daripada capek nulis sendiri kan lebih baik copas. Hahaha... )

Senin, 11 April 2022

1 Mud Fidyah Puas Merupakan Satuan Takaran

1 Mud Fidyah Puas

Satu mud merupakan satuan takaran. Satu mud menjadi ukuran minimal fidyah. Satu mud kira-kira setara dengan 3/4 liter. Satu mud adalah takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa sebagaimana keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
 والمد حفنة ملء اليدين المتوسطتين 
Artinya, “Satu mud adalah cakupan penuh dua telapak tangan pada umumnya,” 
(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 910). 

Mud adalah satuan takaran. Ia tidak mudah untuk dikonversi ke dalam satuan berat. 

Sebagian ulama menyetarakan takaran satu mud dengan timbangan seberat 0,6 kg. 

Menurut ulama syafi’iyah, takaran satu mud (misalnya) beras memiliki ukuran yang setara dengan bobot 675 gram/6,75 ons beras. 

Fidyah sebesar satu mud tidak hanya berkaitan dengan denda puasa, besaran nafkah, dan (pada sebagian ulama) pengganti shalat wajib yang ditinggalkan. 

Terkait denda puasa, fidyah dibayar sebesar satu mud.
 فصل في الفدية وهي مد من الطعام لكل يوم من أيام رمضان وجنسه جنس زكاة الفطر فيعتبر غالب قوت البلد على الأصح Artinya, “Pasal mengenai
 fidyah. Fidyah adalah seukuran satu mud makanan (sebagai denda) untuk setiap hari (pembatalan puasa) di bulan Ramadhan. 

Jenis makanannya adalah jenis makanan yang dipakai untuk zakat fitrah. 

Jenis makanan pokok umum penduduk masyarakat setempat dinilai (sah) menurut pendapat yang paling shahih,” (Lihat Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 264). 

Fidyah sebesar satu mud (0,6 Kg atau 3/4 liter) beras (untuk umumnya masyarakat Indonesia) dibayar sebagai denda untuk satu hari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan. 

Terkait siapa yang wajib membayar fidyah, silakan buka kembali ketentuan fidyah pada bab puasa di kitab-kitab fiqih. 

Mereka yang wajib membayar fidyah dapat mengalikan berapa hari ia meninggalkan puasa. 

Tentu saja pengalian utang puasa tersebut belum termasuk denda fidyah mereka yang melalaikan pelaksanaan qadha puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya tiba. 

Fidyah berupa makanan pokok tersebut diberikan kepada fuqara dan orang miskin. 

Fidyah sekian mud dalam mazhab Syafi’i boleh diberikan kepada seorang fakir atau seorang miskin yang sama. 

Satu mud menurut mazhab Syafi’i memiliki kesamaan ukuran dengan satu mud menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali. 

Sementara menurut mazhab Hanafi, takaran satu mud setara dengan bobot 815,39 gram. 

Adapun takaran satu mud adalah seperempat sha’. 

Jadi, satu sha’ sama dengan takaran empat mud. 

Sedangkan satu sha’ adalah takaran zakat fitrah untuk satu orang. Wallahu a’lam. 
(Alhafiz Kurniawan).

Sumber: https://islam.nu.or.id/puasa/1-mud-fidyah-puasa-L2cYW

Minggu, 10 April 2022

Makan dan Minim ketika Adzan Shubuh Ramadhan

SALAH FAHAM, FATAL AKIBATNYA..! 

Ketika ada segolongan 'orang² pintar' yg mengatakan:
Diperbolehan makan, minum saat adzan subuh sudah terdengar. Maka jelas ini adalah fatwa ngawur dan salah besar. 

Biasanya fatwa ini berdasarkan pada hadits berikut: 

إذا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan, sedangkan wadah makanan ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga dia menyelesaikan hajatnya (makan).” (HR. Abu Daud) 

Padahal adzan di sana bukan adzan subuh seperti di sangka sebagaian orang, melainkan adzannya sahabat Bilal untuk membangunkan orang sebelum subuh.
Di masa Nabi ada dua adzan; adzan pertama adalah adzannya Bilal sebelum fajar, dan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi Maktum yang dilakukan saat fajar subuh telah tiba. 

Demikianlah yg tertera dalam hadits imam Bukhari: 

إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
"Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari, maka teruslah makan dan minun sampai Ibnu Ummi Maktum adzan". (HR. Bukhari) 

Selain itu, juga bertentangan dgn ayat Al Quran: 

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar...” (QS Al-Baqarah: 187) 

Sumber: Ngaji Ramadhan, Kitab Risalah Syiyam 23-24.

Kamis, 07 April 2022

30 Keistimewaan (Fadhilah) Salat Tarawih

30 Keistimewaan (Fadhilah) Salat Tarawih menurut Kitab Durratun Nashihin.

1. Malam pertama

عن على بن ابى طالب رضى الله تعالى عنه انه قال سئل النبى عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال يخرج المؤمن من ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته امه

 Diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib RA. bahwa sesungguhnya Ali berkata : Nabi alaihis sholatu was salamu ditanya tentang keutamaan tarowih di bulan romadlon. Maka Nabi menjawab :

"Pada malam pertama keluarlah dosa orang mukmin (yang melakukan Salat Tarawih) sebagaimana ibunya melahirkan ia di dunia.

 2. Malam ke-2

 وفى الليلة الثانية يغفر له ولأبويه ان كان مؤمنين

 Pada malam yang ke 2, orang yang salat tarawih akan diampuni dosanya dan dosa ke-2 orang tuanya jika keduanya mukmin

3. Malam ke-3

 وفى الليلة الثالثة ينادي ملك من تحت العرش استأنف العمل غفر الله ما تقدم من ذنبك

Pada malam yang ke 3, malaikat dibawah arasy berseru,mulailah melakukan amal kebaikan ( salat tarawih ) maka Allah akan mengampuni dosamu.

4. Malam ke-4

وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التورات والانجيل والزبور والفرقان

Pada malam yang ke-4, bagi yang melakukan tarawih dapat pahala sebagaimana pahala orang yang membaca kitab taurot,injil,zabur dan Al-Quran.

5. Malam ke-5

 

وفى الليلة الخامسة اعطاه الله تعالى مثل من صلى فى المسجد الحرام و المسجد المدينة والمسجد الاقصى

 

Pada malam yang ke 5, Allah memberikan pahala bagi yang tarawih sebagaimana pahalanya orang yang salat di Masjidil Haram, Masjid Madinah atau Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

6. Malam ke-6

 وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر

 Pada malam yang ke-6, Allah memberikan pahala pada yang bertarawih sebagaimana pahalanya orang yang thowaf di Baitul Makmur dan setiap batu dan tanah memintakan ampunan padanya.

 7. Malam ke-7

وفى الليلة السابعة فكأنما ادرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان

 Pada malam yang ke-7, yang melakukan tarawih seakan-akan menemui zaman Nabi Musa As dan menolongnya dari serangan Fir'aun dan Haman.

 8. Malam ke-8

وفى الليلة الثامنة اعطاه الله تعالى ما اعطى ابراهيم عليه السلام

 Pada malam yang ke-8, Allah akan memberi anugrah sebagaimana anugrah yang diberikan pada Nabi Ibrahim alaihis salam.

 9. Malam ke-9

وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام

Pada malam yang ke 9, seolah-olah orang yang tarawih beribadah pada Allah sebagaimana ibadahnya para Nabi alaihis shalatu was salam (As).

 10. Malam ke-10

وفى اليلة العاشرة يرزقه الله تعالى خيرى الدنيا والآخرة

 Pada malam yang ke-10, Allah akan memberi rizki yang lebih bagus didunia maupun akhirat bagi yang tarawih.

11. Malam ke-11

وفى الليلة الحادى عشرة يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن امه

Pada malam yang ke-11, orang yang tarawih kelak ia akan keluar dari dunia (mati) seperti hari dimana ia baru dilahirkan dari perut ibunya.

12. Malam ke-12

 وفى الليلة الثانية عشرة جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر

 Pada malam yang ke-12, pada saat hari kiamat datang wajahnya orang yang Salat Tarawih bersinar bagaikan rembulan pada malam purnama.

 13. Malam ke-13

 وفى الليلة الثالثة عشرة جاء يوم القيامة أمنا من كل سوء

 Pada malam yang ke-13, pada saat hari kiamat tiba orang yang tarawih akan selamat dari segala macam keburukan.

 14. Malam ke-14 

وفى الليلة الرابعة عشرة جاءت الملائكة يشهدون له انه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة

 Pada malam yang ke-14, malaikat pada menjadi saksi bagi yang Tarawih bahwa ia sudah melakukan sholat tarawih maka Allah tidak menghisabnya besok di hari kiamat.

 15. Malam ke-15

وفى الليلة الخامسة عشرة تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى

Pada malam yang ke-15, para malaikat dan para Malaikat Penyangga Arasy dan para malaikat penjaga kursi kerajaan langit pada memintakan ampunan pada orang yang Salat Tarawih.

16. Malam ke-16

وفى الليلة السادسة عشرة كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول من الجنة

Pada malam yang ke-16, Allah akan mencatat kebebasan selamat dari neraka dan kebebasan masuk surga bagi yang tarawih.

17. Malam ke-17

وفى الليلة السابعة عشرة يعطى مثل ثواب الانبياء

 Pada malam yang ke-17, yang tarawih akan diberi pahala sebagaimana pahalanya para nabi.

 18. Malam ke-18

 وفى الليلة الثامنة عشر نادى ملك ياعبد الله ان الله رضى عنك وعن والديك

 Pada malam yang ke-18, malaikat telah berseru (pada yang tarawih) wahai hamba Allah sesungguhnya telah meridhaimu dan ke-2 orang tuamu.

 19. Malam ke-19

وفى الليلة التاسعة عشرة يرفع الله درجاته فى الفردوس

Pada malam yang ke-19, Allah akan mengangkat derajat-derajat yang Salat Tarawih di Surga Firdaus.

20. Malam ke-20

وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين

 Pada malam yang ke-20, orang tarawih akan diberi pahala seperti pahala orang-orang yang mati Syahid dan orang-orang saleh.

 21. Malam ke-21

فى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور

 Pada malam yang ke-21, Allah akan membangunkan rumah di surga yang terbuat dari cahaya untuk yang tarawih.

 22. Malam ke-22

 وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة امنا من كل غم وهم

 Pada malam yang ke-22, jika hari kiamat tiba maka yang tarawih akan selamat dari segala bentuk kesusahan dan kebingungan.

 23. Malam ke-23 

وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة

 Pada malam yang ke-23, Allah akan membangunkan kota di dalam surga bagi yang tarawih.

 24. Malam ke-24

وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربع وعشرون دعوة مستجابة

Pada malam yang ke-24, orang yang tarawih akan memperoleh 24 doa yang mustajab/manjur.

25. Malam ke-25

وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر

Pada malam yang ke-25, Allah akan menghilangkan siksa kubur dari orang yang tarawih.

26. Malam ke-26.

وَفِى اللَّيْلَةِ السَّادِسَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ يَرْفَعُ اللهُ لَهُ ثَوَابَهُ اَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Pada malam yang ke 26, Allah meningkatkan baginya pahala selama empat puluh tahun.

27. Malam ke-27

وَفِى اللَّيْلَةِ السَّابِعَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ جَازَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ عَلَى الصِّرَاطِ كَاْلبَرْقِ اْلخَاظِفِ.

Pada malam yang ke-27, di hari qiyamat dia melewati jembatan (syirathal mustaqiim) dengan mudah lagi cepat laksana halilintar menyambar.

28. Malam ke-28

. وَفِى اللَّيْلَةِ الثَّامِنَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ يَرْفَعُ اللهُ لَهُ اَلْفَ دَرَجَةٍ فِى اْلجَنَّةِ.

Pada malam yang ke 28, Allah mengangkat seribu derajat baginya didalam surga.

29. Malam ke-29

. وَفِى اللَّيْلَةِ التَّاسِعَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ أَعْطَاهُ اللهُ ثَوَابَ اَلْفِ حِجَّةٍ مَقْبُوْلَةٍ.

Pada malam yang ke 29, Allah memberikan kepadanya pahala seribu ibadah haji yang diterima.

30. Malam ke-30

  وَفِى اللَّيْلَةِ الثَّلاَثِيْنَ يَقُوْلُ اللهُ " يَاعَبْدِى كُلْ مِنْ ثِمَارِ اْلجَنَّةِ وَاغْتَسِلْ مِنْ مَاءِ السَّلْسَبِيْلِ وَاشْرَبْ مِنَ اْلكَوْثَرِ مِنَ اْلكَوْثَرِ اَنَارَبُّكَ وَاَنْتَ عَبْدِى.

 Pada malam yang ke-30, Allah berfirman : ” makanlah buah-buahan surga, mandilah dengan air salsabil dan minumlah dari telaga kautsar, aku adalah Tuhanmu dan Engkau adalah hambaku ”.

Wallahu a'lam. Berdasar dalil dalam Kitab Durratun Nashihin. 

Minggu, 03 April 2022

Penjelasan Tuntas KH. Ali Mustafa Ya’qub Tentang Shalat Tarawih dan Witir

 Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)

Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Tidak Ada Pada Masa Nabi
Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat.[1] Maka dari sudut bahasa, shalat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Kemudian menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah shalat sunnah malam hari yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan. Shalat sunnah yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tidak disebut shalat tarawih. Misalnya shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Isya, shalat witir, shalat hajat, dan sebagainya.Pada masa Nabi Saw tidak ada istilah shalat tarawih. Nabi Saw dalam Hadis-hadisnya juga tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih. Pada masa Nabi Saw, shalat sunnah pada malam Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam Ramadhan.[2] Tampaknya istilah tarawih itu muncul dari penuturan Aisyah isteri Nabi Saw. Seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Aisyah mengatakan, “Nabi Saw shalat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.[3]Karenanya, ada orang yang berkelakar, Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih selama hidupnya, karena Nabi Saw hanya melakukan qiyam Ramadhan.

Semuanya Salah
Selama ini, tata cara pelaksanaan shalat tarawih yang kita kenal ada dua versi. Pertama, shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Kedua, shalat tarawih sebanyak delapan rakaat.

– Shalat Tarawih dua puluh Rakaat

Ada sebuah Hadis riwayat Imam al-Thabrani sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما كَانَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.

Dari Ibn ‘Abbas, katanya, “Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir.”[4]

Ibn Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah mengatakan bahwa Hadis iwayat Ibn ‘Abbas ini lemah sekali.[5] Dan Hadis yang kualitasnya sangat lemah, tidak dapat dijadikan dalil sama sekali untuk landasan beribadah. Kelemahan Hadis tersebut dikarenakan di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman. Al-Bukhari mengatakan bahwa para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Al-Tirmidzi menyatakan bahwa Abu Syaibah munkar Haditsnya. Sementara al-Nasa’i menjelaskan bahwa Abu Syaibah adalah matruk Hadisnya. Bahkan menurut Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta. [6]

Karenanya, Hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir itu dapat disebut Hadis palsu atau minimal Hadis matruk (semi palsu). karena ada rawi yang pendusta tadi. Dan ini. pada gilirannya, Hadis itu tidak dapat dijadikan dalil untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Atau dengan kata lain, apabila kita shalat tarawih dua puluh rakaat dengan menggunakan dalil Hadis Ibnu Abbas tadi, maka apa yang kita lakukan itu salah.

– Shalat Tarawih Delapan Rakaat

Tentang Hadis yang menerangkan bahwa Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat dan witir, maka sebenarnya redaksinya begini. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah Hadis begini.

جَابِرُ بْنُ عَبْدِ الله، قَالَ: جَاءَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ إِلَى رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم، فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّهُ كَانَ مِنِي اللَّيْلَةَ شَيْءٌ -يَعْنِي فِي رَمَضَانَ- قَالَ: وَمَا ذَاكَ يَا أُبَيُّ؟ قَالَ: نِسْوَةٌ فِي دَارِي قُلْنَ: إِنَّا لاَ نَقْرَأُ الْقُرْآنَ، فَنُصَلِّي بِصَلاَتِكَ، فَصَلَّيْتُ بِهِنَّ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ أَوْتَرْتُ قَالَ: فَكَانَ شِبْهُ الرِّضَى، وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.

“Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya, “apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka meminta saya untuk mengi shalat mereka. maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “Maka hal itu merupakan ridha Nabi Saw, karena beliau tidak berkata apa-apa.”[7]

Hadits ini kualitasnya adalah lemah sekali, karena di dalam sanadnya terdapat rawi bernama ‘Isa bin Jariyah. Menurut ahli-ahli kritik Hadis papan atas, seperti Ibn Ma’in dan al-Nasa’i, Isa bin Jariyah sangat lemah Hadisnya. Bahkan al-Nasa’i pernah mengatakan bahwa ‘Isa bin Jariyah adalah Matruk (Hadisnya semi palsu karena ia adalah pendusta).[8]

Ada lagi Hadis lain yang lebih kongkrit dari Hadis di atas, yaitu riwayat Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ.

“Nabi Saw pernah mengikami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.”[9]

Hadis ini nilainya sama dengan Hadis Ubay bin Ka ‘ab di atas, yaitu matruk (semi palsu), karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah itu tadi.

Jadi baik shalat tarawih dua puluh rakaat, maupun shalat tarawih delapan rakaat, apabila menggunakan dua Hadis di atas tadi, yaitu Hadis lbnu Abbas untuk tarawih yang dua puluh rakaat dan Hadis Jabir untuk tarawih yang delapan rakaat, maka dua-duanya adalah salah.

Semuanya Benar
Shalat tarawih delapan rakaa t maupun dua puluh rakaat itu semuanya benar apabila menggunakan Hadis yang shahih, di mana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan, yang kemudian lazim dikenal dengan shalat tarawih. Hadis itu adalah:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري)

“Siapa yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni.”[10]

Dalam Hadis ini, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan. Mau sepuluh rakaat, silakan. Mau dua puluh rakaat, silakan, Mau seratus rakaat, silakan. Mau delapan rakaat pun silakan. Maka shalat tarawih dua puluh rakaat dan delapan rakaat, apabila meng­gunakan Hadis ini sebagai dalil, keduanya benar.

Hanya bedanya nanti, mana yang afdhal saja. Bisa jadi shalat tarawih dua puluh rakaat itu afdhal daripada delapan rakaat, apabila tarawih dua puluh rakaat itu dilakukan dengan baik, khusyu, dan lama. Sementara shalat tarawih delapan rakaat dilakukan dengan tidak baik.

Sebaliknya, shalat tarawih delapan rakaat itu afdhal daripada dua puluh rakaat, apabila yang delapan rakaat itu dikerjakan dengan baik, khusyu, dan lama. Sementara yang dua puluh rakaat dikerjakan dengan cepat dan tidak khusyu.”

Tentang Hadis Aisyah 8 Raka’at
Memang benar ada Hadis sha­hih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lain-lain dari Aisyah Isteri Nabi. Kami tidak ingin mengomentan Hadts itu, karena ia adalah Hadis shahih, sehingga tidak Perlu komentar lagi. Yang ingin kami komentari adalah peamahaman kita yang menjadikan Hadis Aisyah itu sebagai dalil shalat tarawih.

Pertama:

Kawan-kawan yang menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil shalat tarawih biasanya tidak membaca Hadis itu secara utuh, sehmgga mungin dapat menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Hadis Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai, dan Imam Malik bin Anas.Kisahnya adalah, seorang Tabi’i yang bernama Abu Salamah bin Abd al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: «تَنَامُ عَيْنِي وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي»

Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selam bulan Ramadhan, dan sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan Jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat Witir? Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mata­ku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.[11]

Jadi apabila kita baca Hadis itu secara utuh, maka konteks Hadis itu adalah berbicara tentang shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir Hadis itu Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Dan seperti kami jelaskan di depan, shalat tarawih itu adalah shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam-malam Ramadhan. Se­dangkan shalat witir adalah shalat sunnah yang dilakukan setiap malam, sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan Ramadhan.

Kedua:

Dalam Hadis tersebut Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang di­lakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Rama­dhan maupun bukan Ramadhan, tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih. Para ulama umumnya juga menempatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih.[12]

Untuk memperkuat kesimpulan bahwa Hadis Aisyah di atas itu adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih, adalah keterangan lain yang juga dari Aisyah sendiri, di mana beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الوِتْرُ، وَرَكْعَتَا الفَجْرِ(رواه البخاري ومسلم و أبو داود)

Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat witir dan dua rakaat fajar. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).[13]

Ketiga, umumnya Kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu menggunakan Hadis Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau konsekwen mengikuti Nabi Saw, silakan mereka shalat sebelas rakaat itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.

Kenyataannya tidak demikian. Kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah tadi pada bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis itu tidak pernah mereka sebut-sebut. Kami tidak tahu pasti apakah kawan-kawan yang shalat sebelas rakaat pada bulan Ramadhan itu juga shalat sebanyak itu diluar Ramadhan. Lagi pula. ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam sampai kakinya pecah-pecah.

المُغِيرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُومُ لِيُصَلِّيَ حَتَّى تَرِمُ قَدَمَاهُ – أَوْ سَاقَاهُ – فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ: «أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا»

Al-Mughirah r.a menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai pecah­ pecah kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?”[14]

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya sebelas rakaat . Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki beliau tidak akan pecah-pecah. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah itu adalah shalat witir, bukan shalat malam secara keseluruhan.

Dalam Hadis yang lain Nabi Saw bersabda:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah shalatmu terakhir pada malam hari adalah shalat witir.[15]

Aisyah sendiri juga mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى يَكُونَ آخِرَ صَلَاتِهِ الْوِتْرُ

Rasulullah Saw shalat malam, sehingga shalat paling akhir yang beliau lakukan adalah shalat witir.[16]

Dalam Hadis lain Aisyah juga mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ

Nabi Saw shalat malam dan saya tidur terlentang di atas tempat tidumya. Apabila beliau hendak shalat witir, beliau membangunkan aku, kemudian aku shalat witir.[17]

Jadi shalat setiap malam sebelas rakaat yang dilakukan Nabi Saw adalah shalat witir, dan itu adalah shalat paling akhir dilakukan Nabi Saw setiap malam. Sebelum shalat witir, shalat apa dan berapa rakaat yang dilakukan Nabi Saw? Tampaknya Aisyah tidak tahu. karena beliau waktu itu masih tidur.

Variasi Shalat Witir
Hadis Aisyah yang sudah kami jelaskan di muka tadi adalah Hadis tentang shalat witir. bukan Hadis tentang shalat tarawih. Sebelas rakaat itu adalah satu paket shalat witir dengan jumlah rakaat yang maksimal. Shalat witir minimal satu rakaat.

Dalam berbagai riwayat yang shahih, shalat witir itu bervariasi. boleh 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat dan 11 rakaat Bahkan ada riwayat 13 rakaat. Shalat witir itu juga boleh dilakukan dengan dua rakaat lalu salam, kemudian ditambah satu rakaat. Dapat juga tiga rakaat satu kali duduk, kemudian salam. Ini bagi witir yang tiga rakaat. Witir lima rakaat dapat dilakukan dengan bentuk empat rakaat dengan duduk sekali, kemudian ditambah satu rakaat. Nabi Saw juga pernah shalat witir sembilan rakaat dan duduk serta salam pada rakaat kedelapan.[18]

Salah Tempat
Hadis Aisyah itu dipakai oleh sementara orang untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat, menurut kami hal itu tidak tepat. Karena hal itu berarti satu Hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua: delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir. Kalau Hadis Aisyah itu dipakai wntuk shalat witir saja, itu benar.

Sahabat Memakai Hadis Palsu?
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab belum ada yang memalsu Hadis. Menurut para ulama ahli Hadis, pemalsuan Hadis baru ada sesudah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35H. Bahkan Dr. Shubhi al-Shalih menyebutkan bahwa sejak tahun 41 H. pemalsuan Hadis itu muncul ke permukaan.[19] Sedangkan Khalifah Umar wafat pada tahun 23 H. Jadi para Sahabat tidak memakai Hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua puluh rakaat.

Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu sendiri yang kami sebut sebagai Hadis palsu adalah diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Sulaiman al~Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H. Dia inilah yang memalsu Hadis tersebut.[20] Jadi Hadis itu tentunya muncul pada pertengahan abad ketiga.

Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Ka’ab yang mengimami shalat tarawih pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut Hadis mauquf, karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis disandarkan kepada Nabi Saw. disebut Hadis marfu’. Hadis Ubay bin Ka ‘ab ini diriwayatkan oleh Imam al~Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, Juz II hal. 496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi, Imam al-Zaila’i. Imam al-Subki, Imam Ibn al-‘Iraqi. Imam al-‘Aini. Imam al­-Suyuti, Imam Ali al-Qari. Imam al-Nimawi, dan lain-lain.[21]

Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Ka’ab itu dhaif (lemah). seperti Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti dari Darul Ifta di Riyadh Saudi Arabia.[22]

Tarawih 20 Rakaat Sunnah Nabi Saw.
Dalam Hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat tarawih itu selama dua atau tiga malam saja. Beliau melakukannya dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu oleh para jamaah untuk shalat yang sama, tetapi beliau tidak keluar ke masjid.

Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan awal masa Khalifah Umar. tidak ada yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Baru kemudian pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, beliau menyuruh Sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid. Dan ternyata Ubay bin Ka ‘ab bersama para Sahabat yang lain shalat tarawih dua puluh rakaat.[23]

Tentu pertanyaannya sekarang, dari mana para Sahabat itu mengetahui bahwa shalat tarawih itu dua puluh rakaat, padahal tidak ada keterangan yang kongkrit dari Nabi Saw. bahwa beliau shalat tarawih dua puluh rakaat? Mengapa ketika mereka shalat tarawih dua puluh rakaat tidak ada seorang pun yang protes atau menyalahkan shalat mereka?

Mengapa Aisyah waktu itu diam saja, tidak protes. Padahal Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan lebih dari sebelas rakaat? Apabila yang dilakukan para Sahabat itu menyalahi tarawih yang dilakukan Nabi Saw, mengapa para Sahabat semuanya diam, padahal ketika Umar bin al-Khattab mau membatasi besarnya mahar saja, beliau diprotes oleh seorang wanita karena hal itu bertentangan dengan al­-Qur’an?[24]

Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada dua cara pendekatan.

Pertama:

Apa yang dilakukan para Sahabat itu, di mana mereka shalat tarawih dua puluh rakaat, menurut disiplin Ilmu Hadis disebut Hadis Mauquf. Hadis mauquf ini seperti disebutkan oleh Imam al­-Suyuti, apabila tidak berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dan pelakunya dikenal tidak menerima keterangan-keterangan dari sumber-sumber mantan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Hadis mauquf itu statusnya sama dengan Hadis marfu’ yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Alasannya, Sahabat tentu tidak mengetahui hal itu kecuali dari Nabi Saw.[25]Masaah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya adalah bukan masalah ijtihadiyah, bukan juga masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, melainkan para Sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi Saw. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyah atau masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para Sahabat akan berbeda-beda dalam melakukan shalat tarawih. Sebab lazimnya, dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang dapat berperan, akan terjadi perbedaan-perbedaan.

Oleh karena itu, Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat tadi, kendati hal itu mauquf kepada para Sahabat, namun statusnya sama dengan Hadis marfu: yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Apabila berstatus sebagai Hadis marfu: maka ia memiliki hujjiyah (ke­kuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya Hadis-hadis marfu’ yang lain.

Kedua:

Ketika Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat, tidak ada satu orang pun yang prates. menyalahkan, atau menganggap hal itu bertentangan dengan yang dikerjakan Nabi Saw. Padahal pada waktu itu Aisyah, Umar bin al-Khattab, Abu Hurairah , Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, dan para Sahabat senior yang lain, semuanya masih hidup. Sekiranya tarawih dua puluh rakaat itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw, tentu para Sahabat itu sudah protes terhadap apa yang dilakukan Ubay bin Ka ‘ab.

Bandingkan misalnya pada masa Marwan dari Dinasti Bani Umayyah, jauh setelah masa Umar bin al-Khattab, Marwan pernah mengubah tatanan shalat ‘ld (Hari Raya). Sunnahnya, atau berdasarkan tuntunan Nabi Saw. shalat ‘ ld itu dikerjakan sebelum khutbah, berbeda dengan shalat Jum’at, yang mendahulukan khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan, apabila dalam shalat ‘ld itu shalat dida­hulukan baru kemudian khutbah, maka banyak jamaah yang bubar tidak mau mendengarkan khutbah. Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘ld menjadi khutbah dahulu kemudian shalat.

Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh orang banyak. “Wahai Marwan. kamu menentang Sunnah Nabi Saw.” begitu kata seorang dari mereka yang mengecam Marwan.[26]

Oleh karena shalat tarawih dua puluh rakaat yang dipimpin Ubay bin Ka’ab itu tidak ada satu pun dari para Sahabat yang protes atau menentang, maka hal itu, menurut Imam lbnu Abd al-Barr (w. 463 H). Imam lbnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) merupakan ijma’ (konsensus) Sahabat yang kemudian di ikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi ‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan menurut Imam Qudamah. apa yang disepakati oleh para Sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.[27]

Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) juga menegaskan, “Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama mengatakan bahwa hal itu adalah Sunnah, karena Ubay bin Ka’ab shalat dihadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari.”[28] Jadi, shalat tarawih tarawih dua puluh rakaat itu merupakan Sunnah Nabi Saw, dan bukan bid’ah.

Tiga Dalil Tarawih 20 Rakaat

Masalah pendapat seseorang yang menga­takan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah, maka kami akan menjelaskan dahulu apa yang disebut bid’ah. Masalahnya ada se­ mentara orang yang keliru dalam memahami bid’ah. “Dalam masalah ibadah, bid’ah itu adalah amal-amal ibadah yang tidak ada dalilnya.

Dan yang namanya dalil itu adalah al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Ada orang berkata bahwa berdoa setelah shalat itu adalah bid’ah. Padahal ada Hadis hasan riwayat Imam al-Tirmidzi di mana Nabi Saw. ditanya oleh para Sahabat:

أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

Doa manakah yang paling didengar Allah?” Nabi Saw menjawab, “Doa pada waktu tengah malam yang akhir dan doa sehabis shalat-shalat fardhu.” [29]

Dan masih banyak contoh-contoh semacam itu, yang intinya adalah apa yang disebut bid’ah itu ternyata apa yang dia itu tidak tahu. Pemahaman seperti ini tentu harus diluruskan.

Dalil shalat 20 rakaat dapat dirangkum sebagai berikut.

1)Hadis shahih di mana Nabi Muhammad Saw ti­dak membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري)

2)Hadis mauquf riwayat al-Bukhari dan Muslim. Di mana ‘Umar bin al-Khattab ra memerintahkan Ubay bin Ka‘ab untuk menjadi shalat tarwih di masjid. Dan ternyata Ubay juga para sahabat lain shalat tarawih dua puluh rakaat. Dan tidak ada satu pun sahabat yang memprotes hal itu. Padahal pada waktu itu sayyidah Aisyah, ‘Umar bin al-Kattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah. Dan sahabat senior lain, semuanya masih hidup.

3)Ijma’ sahabat. Menurut Ibn Abd al-Bar, Ibn Qudamah al-Maqdisi, kemudian Abu Hanifah, al-Syafi’i, dan ahmad bin Hanbal. Shalat tarawih dua puluh rakaat adalah jima’ (konsensus). Bahkan Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menuturkan. Bahwa apa yang disepakati oleh para sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.

Tarawih 20 Raka’at Adalah Bid’ah yang Paling Baik
Khalifah Umar bin al~Khattab mengatakan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah yang paling baik. Bagaimana dengan itu?”Riwayat itu shahih, terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari.[30] Namun maksud bid’ah di situ bukan ibadah yang tidak ada dalilnya, tetapi maksudnya adalah bid’ah dalam arti kebahasaan. Yaitu bahwa shalat tarawih dengan berjamaah itu merupakan sesuatu yang baru, karena tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak per­nah ada. Nabi Saw hanya melakukannya dua kali atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan berjamaah. Maka tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak ada pada masa Nabi Saw.

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan awal masa Khalifah Umar juga tidak pernah shalat tarawih dilakukan dengan cara berjamaah. Baru pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab itulah shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah. Maka hal itu, ditinjau dari sudut kebahasaan, adalah sesuatu yang baru yang dahulunya tida k ada. Dan itulah arti bid ‘ah dari sudut kebahasaan.

KH. M. Hasyim Asy ‘ari dan KH. Ahmad Dahlan Shalat Tarawih 20 Rakaat
Jadi shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah bukanlah bid’ah, melainkan merupakan sunnah Nabi Saw yang telah dilakukan dan hal itu diterima oleh umat Islam sejak masa Khalifah Umar bin al~Khattab sampai hari ini. Dan khususnya di Masjidil Haram Makkah, shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah dilakukan sejak masa Khalifah Umar bin al~Khattab, kurang lebih tahun 15 H sampai dengan masa Raja Fahd bin Abd al-Aziz tahun 1424 H ini.

Di Indonesia, mayoritas umat Islam juga shalat tarawih dua puluh rakaat, baik umat Islam secara umum maupun tokoh-tokoh ulamanya. Pendiri Perserikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, shalat tara­wih dua puluh ra kaat. Begitu pula pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadrat al-Syeikh KH. M. Hasyim Asy ‘ari, juga shalat tarawih dua puluh rakaat.[31]

Dan kenyataannya bahwa Shalat Terawih dua puluh rakaat itu telah dilakukan dan diterima oleh umat Islam sejak masa Sahabat sampai masa kini. yang dalam ilmu Hadis disebut dengan talaqqi al-ummah bi al-qabul, dan hal itu merupakan suatu faktor yang memperkuat oten­tisitas Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu.[32]

al~Shan’ani dan al~Albani
Selama masa 1409 tahun itu, dalam catatan sejarah perjalanan agama Islam tidak pernah ada ulama yang mempermasalahkan tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah, baik pada masa Sahabat, Tabi’in, Ulama Salaf dan Khalaf, kecuali beberapa orang seperti Syeikh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam dan Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani dalam kitabnya Risalah al-Tarawih. Dan pendapat Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani ini disanggah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seperti disebutkan di muka tadi.

Al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subul al-Salam Syarah kitab Bulugh al-Maram karya Imam lbnu Hajar al-Asqalani, memang mengatakan bahwa shalat tarawih secara berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu itu bid’ah.[33] Sedangkan Syeikh Muhammad Nashir al­-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Dhuhur lima rakaat.

Shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah itu sudah dila­kukan oleh para Sahabat, para Tabi’in, para ulama salaf sampai masa­-masa belakangan, dan tidak ada orang yang mempermasalahkan, tidak ada orang yang menganggap hal itu salah atau menyalahi Sunnah Nabi Saw. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kemudian al-Shan’ani yang hidup antara pada abad ke-11 dan ke-12 Hijri mempermasalahkan shalat tersebut? Mengapa baru al-Albani, seorang ulama yang hidup masa sekarang ini, yang pertama kali mempersoalkan bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama dengan shalat Dhuhur lima rakaat?

Apakah selama belasan abad lamanya itu tidak ada ulama yang tahu tentang shalat tarawih, dan baru al-Shan’ani yang mengetahui tentang shalat tarawih sehingga ia mengatakan bahwa shalat tarawih berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu itu bid’ah? Apakah selama lima belas abad itu tidak ada ulama yang tahu tentang shalat tarawih, dan baru al-Albani yang mengetahuinya sehingga ia mengatakan bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama seperti shalat Dhuhur lima rakaat?

Tentu tidak demikian, Para Sahabat adalah orang-orang yang paling tahu tentang shalat Nabi Saw, karena mereka hidup semasa dan selalu bersama beliau. Sekiranya shalat tarawih dua puluh rakaat itu menyalahi Sunnah Nabi Saw. tentulah Ubay bin Ka’ab dan Umar bin al-Khattab sudah diprotes oleh Sahabat-Sahabat yang lain. Sekiranya shalat tarawih yang benar itu hanya sebelas rakaat seperti dipahami oleh sementara orang dari riwayat Aisyah, tentulah pada waktu itu Aisyah sudah protes kepada Ubay bin Ka’ab atau Umar bin al-Khattab. Dan ternyata semua itu tidak pernah ada dalam sejarah. Baik Umar bin Khattab maupun Ubay bin Ka’ab, keduanya tidak pernah diprotes oleh para Sahabat yang lain.

Memang terkadang cara-cara al-Shan’ani dalam Subul al-Salam dapat mengecoh pembacanya yang kurang teliti. Misalnya ketika berbicara tentang Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat dan Hadis shalat tarawih delapan rakaat. Ketika ia menukil Hadis Ibnu Abbas di mana Nabi Saw shalat tarawih duapuluh rakaat, al-Shan’ani mengkritik Hadis itu dengan menyebutkan kelemahan-kelemahannya. Tetapi ketika menukil Hadis Jabir di mana Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat, al-Shan’ani tidak berkomentar sepatah kata pun. Ia diam seribu ba­hasa.[34] Sikap al-Shan’ani ini memberikan kesan bahwa Hadis Jabir itu shahih, sedangkan Hadis Ibnu Abbas itu tidak shahih. Padahal seperti kami katakan di depan tadi, kedua Hadis itu sama-sama lemah sekali, yaitu maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).”

Tarawih l000 Rakaat Sunnah Nabi Saw
Apabila tarawih duapuluh rakaat itu Sunnah Nabi Saw, apakah hal itu berarti tarawih yang delapan rakaat bid’ah?”

Begini, Apabila tarawih delapan itu menggunakan Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi, maka tarawih delapan rakaat itu Sunnah Nabi Saw juga, bukan bid’ah. Bahkan ada riwayat bahwa warga Kota Madinah ada yang shalat tarawih tiga puluh enam rakaat. Namun menurut Imam Ibnu Qudamah, riwayat itu lemah.[35] Walaupun begitu, kalau kita mau shalat tarawih tiga puluh enam rakaat, bahkan seribu rakaat, maka hal itu boleh-boleh saja, sah-sah saja, dan mengikuti Sunnah Nabi Saw, bukan bid’ah, asalkan kita menggunakan Hadis yang tidak membatasi rakaat shalat tarawih tadi.”

Tarawih Syirik
Bagaimana jika memilih terawih delapan rakaat karena praktis, cepat rampung?

Beribadah itu harus berdasarkan dalil, jangan mengikuti selera atau hawa nafsu. Beribadah yang mengikuti selera alias hawa nafsu justru berdosa, bahkan sangat berbahaya. Sebab pelakunya bisa syirik. Di dalam al~Qur’an, ada ayat yang menyebutkan:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ

Tahukah kamu orang yang menjadikan seleranya sebagai Tuhannya? (Surah al­-Furqan/25: 43).

Jadi apabila kita beribadah bukan karena taat kepada Allah, melainkan taat dan menuruti selera alias hawa nafsu, maka kita telah menjadikan selera itu sebagai tuhan. Dan ini sangat berbahaya karena mempertuhankan selain Allah itu adalah syirik. Apabila kita syirik, maka seluruh amal kita akan hancur, tidak ada gunanya.

Allah berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Apabila mereka (para nabi) itu syirik, maka semua amalnya akan hancur. (Surah al-An’am/6: 88)

Karenanya, jangan sekali~kali kita beribadah karena menuruti selera, tetapi karena menuruti perintah Allah melalui dalil~dalil agama.

Tidak Berorientasi Angka
“Oleh karena itu, seyogyanya dalam ibadah shalat tarawih, kita tidak berorientasi kepada angka, alias jumlah rakaat. Silakan mau tarawih delapan rakaat asalkan mengikuti Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi. Namun orientasinya adalah lama dan bagusnya shalat itu. Begitu pula tarawih yang dua puluh rakaat, atau empat puluh rakaat, harus lama dan bagus. Tarawih delapan rakaat tentu bacaannya panjang, sedangkan tarawih duapuluh rakaat lebih banyak ruku dan sujudnya. Semuanya baik, asalkan tidak menuruti selera atau hawa nafsu.

Referensi:
[1]Dr. Ibrahim Anis. et.al.. al-Mu’jam al-Wasit. Dar al-Fikr. ttp .. tth., I/380.
[2]Lihat misalnya.al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth .. I/342.
[3]al-Shan’ani. Subul al-Salam, Dar al-Fikr. ttp .. I/11.
[4]al-Tabrani, al-Muj’am al-Kabir, Editor Hamdi Abd al-Majid, Dar Khalf Jami’ah al-Azhar, Cairo, tth; Xl/393.
[5]lbnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr. Beirut, 1303 H/ 1983 M. I/195.
[6]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, I/47-48.
[7]lbnu Balban. al-Ihsan bi Tartib Shahih lbn Hibban, Dar al-Fikr, Beirut, 1417 H/ 1996 M. IV/342. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashar dan Abu Ya’la.
[8]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311.
[9]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311.
[10]al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth .. I/342.
[11]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth.. I/342-343, Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/509. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/86-87. al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi. Editor Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Fikr, Beirut, 1403/19983 ; I/274- 275. al-Nasai, Sunan al-Nasai, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, tth; III/234-235. Malik bin Anas. al-Muwatta, Editor: Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Qalam. Beirut, tth; hal. 90.
[12]Lihat secara umum kitab-kitab dalam foot note no. 11 di atas.
[13]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/199. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/508. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/84.
[14]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/198
[15]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/177. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/516
[16]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/510
[17]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/510
[18]Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/508-510. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/84-100. al- Nasai, Sunan al-Nasai, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, tth; III/233-234.
[19]Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Musthalahatuh, Dar a1-‘Ilmli al-Malayin, Beirut, 1979; hal. 266.
[20]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, I/48.
[21]Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tara wih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 7.
[22]Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tara wih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 11-27.
[23]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/342. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/523-524. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/102-104. Muhammad Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth; II/10 menukil dari al-Baihaqi. Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 11-27.
[24]Imam lbnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh, 1418/ 1998; I/571.
[25]al-Suyuthi. Tadrib al-Rawi; Editor Abdul Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Kutub al-Haditsiyyah, Cairo. 1385/1966; I/190-191.
[26]Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; I/677-678. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. al-Tirmidzi, al- Nasa’i. dan lbnu Majah.
[27]Abd al-Wahhab abd al-Latif (Editor) dalam Malik bin Anas, Loc.Cit. lbnu Qudamah. al-Maqdisi, al-Mughni; Editor Dr. Abdullah al-Turki dan Dr. Abd.Al- Fattah Muhammad al-Hulluw. Dar Alam al-Kutub, Riyadh, 1417/1997; II/ 604.
[28]Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Ibn Taimiyah, Editor Abd al-Rahman Muhammad Qasim, Wazarah al-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Riyadh, 1316/1995; XXIII/112.
[29]al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi. Editor Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Fikr, Beirut, 1403/19983 ; V/188.
[30]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/342.
[31]Keterangan bahwa KH. Ahmad Dahlan shalat tarawih dua puluh rakaat kami peroleh dari seorang kawan anggota Lajnah Tarjih Pimpnan Pusat Muhammadiyyah dan juga salah seorang Pembantu Rektor Universitas Muhammadiyyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA). Sedangkan keterangan tentang Hadrat al-Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari shalat tarawih dua puluh rakaat kami peroleh dari keterangan santri-santri beliau yang menjadi guru-guru kami di Pesantren Tebuireng Jombang.
[32]Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 12.
[33]Muhammad Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth; II/11
[34]Muhammad Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth; II/10
[35]lbnu Qudamah. al-Maqdisi, al-Mughni; Editor Dr. Abdullah al-Turki dan Dr. Abd Al-Fattah Muhammad al-Hulluw. Dar Alam al-Kutub, Riyadh, 1417/1997; II/ 604.

Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 137-159.

SAFINATUN NAJAH

More »