Selasa, 12 April 2022

ULASAN TENTANG SIFAT 'ULUW ANTARA MAZHAB ASY'ARI DAN HANBALI || Tentang ISTIWAK

ULASAN TENTANG SIFAT ULUW ANTARA MAZHAB ASY'ARI DAN HANBALI 


Oleh: Gus Dodi ElHasyimi 

Kembali saya mengkritik tulisan Mbak Gayatri Fasya Jauhari ...... 🤣🤣🤣

Dia mengatakan madzhab Hanbali berbeda dalam memahami SIFAT ULUW dengan madzhab Asy'ariy, padahal sama aja pemahaman kedua madzhab ini, yang berbeda itu justru madzhab Wahabi Salafy dan madzhab Hanbali...... 🤣🤣🤣

Mari kita bandingkan Madzhab Hanbali (Syaikh Abdul Qadir) dan Madzhab Asy'ary (Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy) :

Dibuktikan bahwa Madzhab Asy'ary juga berpendapat Allah memiliki sifat uluw (Maha Tinggi) oleh Ibnu Hajar Al Asqalani sama dengan Madzhab Hanbali :

Perbedaan antara uluw dan jihah adalah seperti dijelaskan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani al Asy'ari berikut:

وَلَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ جِهَتَيِ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ مُحَالٌ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُوصَفَ بِالْعُلُوِّ لِأَنَّ وَصْفَهُ بِالْعُلُوِّ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى وَالْمُسْتَحِيلُ كَوْنُ ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ الْحِسِّ ³

"Kemustahilan arah atas dan bawah bagi Allah tidak berkonsekuensi bahwa Allah tidak disifati dengan sifat uluw (Maha Tinggi) sebab menyifati Allah Maha Tinggi adalah dari segi maknawi sedangkan yang mustahil adalah dari segi fisikal".

Kemudian Syaikh Abdul Qadir juga berpendapat sama :

وهو بجهة العلو مستو على العرش محتو على الملك محيط بعلمه على الأشياء

Dia berada di arah yang tinggi, istiwa' di atas arsy terkandung kekuasaan, meliputi dengan ilmunya atas segaka sesuatu.

Lalu apanya yg berbeda bila Madzhab Hanbali dan Asy'ary berkata kalo Allah sama-sama punya sifat uluw...??? 🤣🤣🤣

Saya buktikan lagi, ini perkataan ulama Asy'ariy :

Imam Gozali al Asy'ariy (w 505 H) :

ﻭﺃﻧﻪ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﺵ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺬﻱ ﻗﺎﻟﻪ ﻭﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ اﻟﺬﻱ ﺃﺭاﺩﻩ اﺳﺘﻮاء ﻣﻨﺰﻫﺎ ﻋﻦ اﻟﻤﻤﺎﺳﺔ ﻭاﻻﺳﺘﻘﺮاﺭ ﻭاﻟﺘﻤﻜﻦ ﻭاﻟﺤﻠﻮﻝ ﻭاﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻻ ﻳﺤﻤﻠﻪ اﻟﻌﺮﺵ ﺑﻞ اﻟﻌﺮﺵ ﻭﺣﻤﻠﺘﻪ ﻣﺤﻤﻮﻟﻮﻥ ﺑﻠﻄﻒ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻣﻘﻬﻮﺭﻭﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻀﺘﻪ

Dia beristiwa di atas arasy sebagaimana yang Dia firmankan, dengan Maksud yang Dia kehendaki, tanpa persentuhan, tanpa menempati benda, tanpa menetap di tempat, tanpa masuk pada benda, dan tanpa berpindah pindah. Allah tidak dipikul oleh arasy justru arasy dan malaikat pemikulnyalah yang dipikul oleh kelembutan kekuasaanNya dan dikuasai penuh dalam genggamanNya.

ﻭﻫﻮ ﻓﻮﻕ اﻟﻌﺮﺵ ﻭاﻟﺴﻤﺎء ﻭﻓﻮﻕ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺇﻟﻰ ﺗﺨﻮﻡ اﻟﺜﺮﻯ ﻓﻮﻗﻴﺔ ﻻ ﺗﺰﻳﺪﻩ ﻗﺮﺑﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﻌﺮﺵ ﻭاﻟﺴﻤﺎء ﻛﻤﺎ ﻻ ﺗﺰﻳﺪﻩ ﺑﻌﺪا ﻋﻦ اﻷﺭﺽ ﻭاﻟﺜﺮﻯ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺭﻓﻴﻊ اﻟﺪﺭﺟﺎﺕ ﻋﻦ اﻟﻌﺮﺵ ﻭاﻟﺴﻤﺎء ﻛﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﺭﻓﻴﻊ اﻟﺪﺭﺟﺎﺕ ﻋﻦ اﻷﺭﺽ ﻭاﻟﺜﺮﻯ

Allah di atas arasy di atas langit di atas segala sesuatu hingga dasar bumi. KetinggianNya tidak menambah semakin dekat kepada arasy dan langit, juga tidak membuatNya semakin jauh dari bumi dan dasar bumi. Akan tetapi Dia maha tinggi derajatnya dari arasy dan langit, sebagaimana Dia maha tinggi derajatnya dibanding bumi dan dasar bumi.

ﻭﻫﻮ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻗﺮﻳﺐ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻭﻫﻮ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ اﻟﻌﺒﺪ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ اﻟﻮﺭﻳﺪ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺷﻬﻴﺪ ﺇﺫ ﻻ ﻳﻤﺎﺛﻞ ﻗﺮﺑﻪ ﻗﺮﺏ اﻷﺟﺴﺎﻡ ﻛﻤﺎ ﻻ ﺗﻤﺎﺛﻞ ﺫاﺗﻪ ﺫاﺕ اﻷﺟﺴﺎﻡ

Meskipun begitu, Dia tetap dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat kepada hambanya melebihi dekatnya urat nadi. Dia menyaksikan segala sesuatu. Sebab, kedekatanNya berbeda sama sekali dengan kedekatan suatu benda. Sebagaimana zatNya sama sekali berbeda dengan zat benda.

ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻓﻲ ﺷﻲء ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻓﻴﻪ ﺷﻲء ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﺤﻮﻳﻪ ﻣﻜﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﺱ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﺤﺪﻩ ﺯﻣﺎﻥ ﺑﻞ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺧﻠﻖ اﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭاﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ اﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ

Dia tidak masuk ke dalam sesuatu, dan tidak dimasuki sesuatu. (Tidak bertempat dan tidak ditempati). Maha Suci Allah. Tidak mungkin Dia dikelilingi oleh tempat (ruang), sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu. Allah telah ada sebelum Dia menciptakan waktu dan sebelum dia menciptakan tempat. Saat ini Dia masih dalam keadaan yang sama (tidak bertempat dan tak dibatasi waktu).(Imam Al Gozali, Ihya' Ulumuddin, jilid 1, Hal. 332-333)

Sedang Syaikh Abdul Qadir al Jailani (w 561 H) mengatakan :

ولا يجوز عليه الحد ولا نهاية ولا قبل ولا بعد ولا تحت ولا قدام ولا خلف ولا كيف لأن جميع ذلك ما ورد به الشرع إلا ما ذكرناه من أنه على العرش استوى على ورد به القرآن والأخبار بل هو عز وجل خلق لجميع الجهات

Tidak boleh menetapkan batasan bagi allah, tidak Menetapkan batas akhir, tidak ada sebelumnya, tidak ada sesudahnya, tidak ada di bawahnya, tidak ada di depannya ,tidak ada di belakangnya dan tidak ada kaif (gambaran), karena semua itu adalah apa apa yg mana sesuai dengan syariat. kecuali apa yg telah kami sebutkan : sesungguhnya allah beristawa di atas arsy adalah berdasarkan apa yang datang pada al quran dan hadits hadits, bahkan dialah allah azza wa jalla Mencipta semua arah.(Abdul Qadir, Al ghunyah, Hal. 168)

Mari kita bandingkan pula dengan aqidah Asyariyah, seperti :

Imam Asy’ary (w 323 H) Tentang Istiwa Menafikan Makna Menguasai, Duduk dan Bertempat (Tinggal)

ولم يقولوا شيئا إلا ما وجدوه في الكتاب أو ما جاءت به الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم .. (٦)وقالت المعتزلة : إن الله استوى على عرشه بمعنى استولى ( ۷ ) وقال بعض الناس : الاستواء القعود والتمكن .

Dan Mereka(Ahlu Sunnah dan Ahli Hadis) Tidak Pernah Mengatakan Sesuatu kecuali Apa mereka Temukan Di dalam Al Quran atau yang datang Dalam Hadis Rasulullah Shollahu 'alaihi Wasallam (6) Berkata Muktazilah Sesungguhnya Allah Istiwa dengan Makna Menguasai (7) Berkata Sebagian Manusia Istiwa Itu adalah Duduk dan Bertempat (Imam Asy'ary, Maqalat Islamiyyin, Jilid 1, Hal. 185)

- Imam Asy'ary (w 323 H) Tentang Istiwa
 
فدل على أن الله تعالی منفرد بوحدانيته مستو على عرشه استواء منزه عن الحلول والاتحاد

Maka Ia Menunjukkan Bahwa Sesungguhnya Allah Ta'ala Sendirian Dengan Keesaannya Istiwa di Atas Arasy Maha Suci Ia dari Hulul(masuk ke dalam Suatu) dan Ittihad(Menyatu Dengan Mahluk).(Imam Asy'ary, Al Ibanah, Hal. 100) 

- Imam Asy'ary (w 323 H) Tentang Istiwa 

وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار 

Dan Sesungguhnya Dia Istiwa di Atas Arasynya Tanpa Kaif dan Tanpa Bertempat(Imam Asy'ary, Al Ibanah, Hal. 102)

Ternyata aqidah Asy'ariy sama dengan aqidah Al Imam Abu Ja'far Ath Thahawi (yang disepakati sebagai imamnya ahlus sunnah wal jamaah)

Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi (w 321 H) berkata: 

"تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ" 

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti makhluk-Nya".(Ath Thahawi, Aqidah Thahawiyah, Hal. 13).

Dalam permasalahan TAFWEEDH apakah madzhab Asy'ariy sama dengan Madzhab Hanbali ???? Ya sama aja, Tafweedh adalah mengimani lafadz-lafadz nash dan menyerahkan MAKNANYA kepada Allah/Nabi Muhammad shalllallaahu 'alaihi wa sallam, ini buktinya :

Dan Tafweedh dari ulama madzhab Asy'ariy :

- Imam al-Haramain Abu al-Ma'âlî al-Juwainî al Asy'ariy di dalam kitab beliau sendiri yang berjudul al-Aqîdah an-Nizhâmiyyah :

العقيدة النظامية ص 33
وذهب أئمة السلف على الإنكفاف عن التأويل، وإجراء الظواهر على مواردها، وتفويض معانيها إلى الرب تعالى

Para imam ulama Salaf berpendapat untuk menahan diri melakukan takwil dan menetapkan ZHAHIR sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Al Quran dan Hadis Sahih (mawarid) dan MENYERAHKAN MAKNA-MAKNA LAFAZH NASH SIFAT KEPADA ALLAH TA'ÂLÂ.

- Al Imam Nawawi al Asy'ariy di dalam kitab Syarhul Muslim mengenai Aqidah golongan pertama yaitu Aqidah mayoritas atau semua SALAF (yg berfaham tafweedh) adalah :

 أنه لا يتكلم في معناها 

Mereka TIDAK MEMBICARAKAN MAKNANYA (NASH2 SIFAT TSB)

http://islamport.com/d/1/srh/1/37/817.html

Sedangkan tafweedh dari ulama Hanbali :

- Syaikh Abdul Qodir al Jilani dalam Al Ghunyah pada halaman 86 berkata,

وما اشكل من ذلك وجب اثباته لفظا وترك التعرض لمعناه ونرد علمه الى قائله ونجعل عهدته على ناقله

“Sifat-sifat Allah yang musykil (mutasyabihat) wajib di itsbatkan secara LAFAZH dan menjauhi membahas maknanya serta mengembalikan maknanya kepada Pengucapnya (Allah atau Rasul-Nya) (TAFWIDH). Dan tanggung jawab diserahkan kepada yang menukilnya”.

Jadi kesimpulannya Syaikh Abdul Qodir al Jilani mengikuti Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala. 

- Menurut Syaikh Muhammad as-Safarini al-Hanbali diantara butir-butir akidah seluruh ulama Hanabilah, plus diklaim sama dengan akidah Salaf adalah:

فإذا ورد القرآن العظيم وصحيح سنة النبي الكريم - عليه أفضل الصلاة وأتم التسليم -، بوصف للباري جل شأنه؛ تلقيناه بالقبول والتسليم، ووجب إثباته على الوجه الذي ورد، ونكل معناه للعزيز الحكيم، ... الخ (لوامع الأنوار البهية وسواطع الأسرار الأثرية ج ١ ص ١٠٧)

"Apabila terdapat dalam al-Quran Adziim dan Sunnah Nabiyul Kariim -alaihish sholatu wa atammut tasliim- yang valid, menyifati Allah Yang Maha Pencipta, maka itu akan diterima dengan sepenuhnya, ditetapkan seperti apa adanya, dan kami menyerahkan MAKNANYA kepada Allah yg Maha Aziiz serta Hakiim..."
(Lawaami'ul Anwaar wa Sawaathi'ul Asraar Atsariyyah juz 1 hal.107)

- Al Imam Ibnu Qudamah Al Hanbali dalam Lum’atul I’tiqad :

ﻟﻤﻌﺔ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ - ( ﺝ 1 / ﺹ 3 )
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻲ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : « ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻨﺰﻝ ﺇﻟﻰ ﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ » ، ﺃﻭ « ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺮﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ » ، ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ، ﻭﻧﺼﺪﻕ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ ﻛﻴﻒ ، ﻭﻻ ﻣﻌﻨﻰ ، ﻭﻻ ﻧﺮﺩ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻨﻬﺎ ، ﻭﻧﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ ﺑﻪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺣﻖ ، ﻭﻻ ﻧﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻭﻻ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﻏﺎﻳﺔ } ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﺒَﺼِﻴﺮُ { [ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ : 11 ] ، ﻭﻧﻘﻮﻝ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ، ﻭﻧﺼﻔﻪ ﺑﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ، ﻻ ﻧﺘﻌﺪﻯ ﺫﻟﻚ ، ﻭﻻ ﻳﺒﻠﻐﻪ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻮﺍﺻﻔﻴﻦ ، ﻧﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻠﻪ ﻣﺤﻜﻤﻪ ﻭﻣﺘﺸﺎﺑﻬﻪ ، ﻭﻻ ﻧﺰﻳﻞ ﻋﻨﻪ ﺻﻔﺔ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺗﻪ ﻟﺸﻨﺎﻋﺔ ﺷﻨﻌﺖ ، ﻭﻻ ﻧﺘﻌﺪﻯ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ، ﻭﻻ ﻧﻌﻠﻢ ﻛﻴﻒ ﻛﻨﻪ ﺫﻟﻚ ﺇﻻ ﺑﺘﺼﺪﻳﻖ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻭﺗﺜﺒﻴﺖ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ) .

Imam Ahmad bin Hambal Ra berkata mengenai sabda nabi SAW : “Allah nuzul ke langit dunia” atau “sesungguhnya Allah dapat dilihat di hari kiamat” dan nash-nash yang serupa dengan hadis-hadis ini : “Kami mengimaninya dan membenarkannya, TANPA KAIFIYYAH, TANPA MAKNA dan kami tidak menolak sedikitpun. Dan Kami mengetahui bahwa apa yg dibawa oleh Rasulullah SAW itu HAQ dan Kami tidak pernah menolak kepada Rasulullah SAW. Kami tidak menyifati Allah lebih dari apa yang Allah sifatkan pada diri-NYA sendiri dengan TANPA HAD (batasan) dan GHOYAH (puncak akhiran). Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat… dst

ﻟﻤﻌﺔ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ - ( ﺝ 1 / ﺹ 4 )
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ : ﺁﻣﻨﺖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺁﻣﻨﺖ ﺑﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ .

Imam Syafi’i Ra berkata : Aku beriman kepada Allah terhadap apa saja yang datang dari-NYA menurut APA YANG DIKEHENDAKI OLEH ALLAH, dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah MENURUT APA YANG DIKEHENDAKI OLEH RASULULLAH

- Al Imâm Ibnu Qudâmah Al Hambalî dalam kitab Tahrîmun Nazhar :

تحريم النظر في كتب الكلام - (ج 1 / ص 59)
 وأما إيماننا بالآيات وأخبار الصفات فإنما هو إيمان بمجرد الألفاظ التي لا شك في صحتها ولا ريب في صدقها وقائلها أعلم بمعناها فآمنا بها على المعنى الذي أراد ربنا تبارك وتعالى فجمعنا بين الإيمان الواجب ونفي التشبيه المحرم 
 وهذا أسد وأحسن من قول من جعل الآيات والأخبار تجسيما وتشبيها وتحيل على إبطالها وردها فحملها على معنى صفات المخلوقين بسوء رأيه وقبح عقيدته ونعوذ بالله من الضلال البعيد

Adapun keimanan kita kepada ayat-ayat dan khabar2 sifat, maka sesungguhnya hanya MURNI BERIMAN KEPADA LAFADZ-LAFADZ YANG TIDAK DIRAGUKAN KESAHIHANNYA DAN KEBENARANNYA, SERTA PENGUCAPNYA (ALLAH) ADALAH YANG MAHA MENGETAHUI MAKNANYA, maka KAMI MENGIMANINYA KEPADA MAKNA YANG DIKEHENDAKI OLEH RABB (TUHAN) KITA TABÂRAKA WA TA’ÂLÂ. Maka kita mengumpulkan antara keimanan yang wajib dan meniadakan tasybih yg diharamkan. Demikian inilah yang lurus dan lebih bagus dibandingkan dengan ucapan orang yg menjadikan ayat-ayat dan khobar-khobar tsb sebagai penjisiman, pentasybihan dan melakukan pembatalan serta menolaknya kemudian mengarahkannya ke makna sifat-sifat makhluk dengan sebab buruknya pendapat dan aqidahnya. Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan yang jauh.

Sedang TAFWEEDH menurut Syaikh Ibnu Taimiyyah (w 728 H) yang diikuti oleh Wahabi Salafi, beliau berkata : 

فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد 

“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)

Jadi yang berbeda adalah antara madzhab Hanbali dan madzhab Wahabi Salafi (yang mengikuti methode ITSBAT, yaitu menetapkan lafadz-lafadz nash namun masih memaknai sesuai dengan zhahir bahasa)..... 😁😁😁

Sekarang kita coba buktikan Madzhab Hanbali dan Madzhab Wahabi Salafy adalah berbeda :

Syaikh Abdul Qadir Al Jailani (bermadzhab Hanbali) berkata :

فالاستواء من صفات الذات كالسمع.. والحياة

Istiwa adalah sebagian dari sifat-sifat dzat, seperti sifat mendengar,.. dan sifat hidup..
Kitab Al Ghunyah.

Aqidah Syaikh Abdul Qadir meyakini istiwa adalah sifat dzat. Sifat dzat itu azaliyah (tidak berawwal), sama seperti sifat hidup. Jika Allah memiliki sifat hidup sebelum Arsy diciptakan, maka sama halnya sifat istawa sudah ada sebelum Arsy diciptakan. Mustahil dong maknanya tinggi berada di atas, khan di zaman azali tidak ada arah atas, bawah, kiri, kanan dsb. Masa gitu aja ga faham... ??? 🤣🤣🤣

Sedangkan Ibnu Utsaimin (bermanhaj Wahabi Salafy) mengatakan Istawa sifat perbuatan yang muhdats (baru). Tidak ada istawa sebelum Arsy diciptakan :

ﻓﺎﻟﺬاﺗﻴﺔ: ﻫﻲ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﻭﻻ ﻳﺰاﻝ ﻣﺘﺼﻔﺎ ﺑﻬﺎ ﻛﺎﻟﺴﻤﻊ ﻭاﻟﺒﺼﺮ.
ﻭاﻟﻔﻌﻠﻴﺔ: ﻫﻲ اﻟﺘﻲ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﻤﺸﻴﺌﺘﻪ ﺇﻥ ﺷﺎء ﻓﻌﻠﻬﺎ، ﻭﺇﻥ ﺷﺎء ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻬﺎ ﻛﺎﻻﺳﺘﻮاء ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﺵ،

Sifat dzatiyyah adalah sifat yang azaliyah )tiada awwwal), yang disifati dengannya seperti mendengar dan melihat.
Dan sifat fi'liyyah perbuatan adalah sifat yang terkait dengan kehendaknya, jika berkehendak Allah melakukannya, jika tidak berkehendak Allah tidak melakukannya, seperti istiwa alal Arsy.
Kitab Majmu' Fatawa. Hal. 15. Juz 5.

ﻓﺎﻻﺳﺘﻮاء ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﺵ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻖ اﻟﻌﺮﺵ،

Istiwa alal arsy tidak ada kecuali sesudah penciptaan Arsy.
Kitab Majmu Fatawa. Hal. 125. Juz 1.

Itu artinya menurut Ibnu Utsaimin tidak ada sifat istiwa sebelum Arsy diciptakan. Tidak bisa disamakan dengan sifat hidup. Yang demikian karena menurut Ibnu Utsaimin makna istawa itu adalah 

في جهة العلو 

berada di arah ketinggian (berada di arah atas) secara hakiki.

Sedangkan Syaikh Abdul Qadir tidak pernah menjelaskan makna istiwa demikian.

Yang ditolak Syaikh Abdul Qadir hanyalah masalah takwil. Karena syaikh menghendaki memutlakkan sifat istawa (menetapkan sesuai lafadz yang ada disertai mensucikannya dari makna-makna hadits)

وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل وإنه استواء الذات على العرش

Dan seyogyanya memutlakkan sifat istiwa dengan tanpa takwil dan sesungguhnya Allah beristiwa dzatnya di atas arsy.
Kitab Al Ghunyah.

Syaikh berkata seyogyanya, bukan wajib.
Artinya syaikh tidak mewajibkan umat muslim menempuh jalannya. Karena syaikh mengetahui sebagian ahlussunnah mentakwil istiwa.

Faham atau tidak ??? 🤣🤣🤣

Wallaahu a'lam.....

____________
NB: Ulasan di atas ditulis oleh Gus Dodi di lapaknya sebagai sanggahan atas tulisan Ibu Gayatri yang mengkritik tulisan saya sebelum ini tentang Akidah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, sebagaimana di SS. Saya bagikan di sini sebagai arsip (aslinya daripada capek nulis sendiri kan lebih baik copas. Hahaha... )

0 komentar:

Posting Komentar

SAFINATUN NAJAH

More »