Minggu, 03 April 2022

Penjelasan Tuntas KH. Ali Mustafa Ya’qub Tentang Shalat Tarawih dan Witir

 Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)

Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Tidak Ada Pada Masa Nabi
Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat.[1] Maka dari sudut bahasa, shalat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Kemudian menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah shalat sunnah malam hari yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan. Shalat sunnah yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tidak disebut shalat tarawih. Misalnya shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Isya, shalat witir, shalat hajat, dan sebagainya.Pada masa Nabi Saw tidak ada istilah shalat tarawih. Nabi Saw dalam Hadis-hadisnya juga tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih. Pada masa Nabi Saw, shalat sunnah pada malam Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam Ramadhan.[2] Tampaknya istilah tarawih itu muncul dari penuturan Aisyah isteri Nabi Saw. Seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Aisyah mengatakan, “Nabi Saw shalat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.[3]Karenanya, ada orang yang berkelakar, Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih selama hidupnya, karena Nabi Saw hanya melakukan qiyam Ramadhan.

Semuanya Salah
Selama ini, tata cara pelaksanaan shalat tarawih yang kita kenal ada dua versi. Pertama, shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Kedua, shalat tarawih sebanyak delapan rakaat.

– Shalat Tarawih dua puluh Rakaat

Ada sebuah Hadis riwayat Imam al-Thabrani sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما كَانَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.

Dari Ibn ‘Abbas, katanya, “Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir.”[4]

Ibn Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah mengatakan bahwa Hadis iwayat Ibn ‘Abbas ini lemah sekali.[5] Dan Hadis yang kualitasnya sangat lemah, tidak dapat dijadikan dalil sama sekali untuk landasan beribadah. Kelemahan Hadis tersebut dikarenakan di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman. Al-Bukhari mengatakan bahwa para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Al-Tirmidzi menyatakan bahwa Abu Syaibah munkar Haditsnya. Sementara al-Nasa’i menjelaskan bahwa Abu Syaibah adalah matruk Hadisnya. Bahkan menurut Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta. [6]

Karenanya, Hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir itu dapat disebut Hadis palsu atau minimal Hadis matruk (semi palsu). karena ada rawi yang pendusta tadi. Dan ini. pada gilirannya, Hadis itu tidak dapat dijadikan dalil untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Atau dengan kata lain, apabila kita shalat tarawih dua puluh rakaat dengan menggunakan dalil Hadis Ibnu Abbas tadi, maka apa yang kita lakukan itu salah.

– Shalat Tarawih Delapan Rakaat

Tentang Hadis yang menerangkan bahwa Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat dan witir, maka sebenarnya redaksinya begini. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah Hadis begini.

جَابِرُ بْنُ عَبْدِ الله، قَالَ: جَاءَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ إِلَى رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم، فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّهُ كَانَ مِنِي اللَّيْلَةَ شَيْءٌ -يَعْنِي فِي رَمَضَانَ- قَالَ: وَمَا ذَاكَ يَا أُبَيُّ؟ قَالَ: نِسْوَةٌ فِي دَارِي قُلْنَ: إِنَّا لاَ نَقْرَأُ الْقُرْآنَ، فَنُصَلِّي بِصَلاَتِكَ، فَصَلَّيْتُ بِهِنَّ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ أَوْتَرْتُ قَالَ: فَكَانَ شِبْهُ الرِّضَى، وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.

“Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya, “apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka meminta saya untuk mengi shalat mereka. maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “Maka hal itu merupakan ridha Nabi Saw, karena beliau tidak berkata apa-apa.”[7]

Hadits ini kualitasnya adalah lemah sekali, karena di dalam sanadnya terdapat rawi bernama ‘Isa bin Jariyah. Menurut ahli-ahli kritik Hadis papan atas, seperti Ibn Ma’in dan al-Nasa’i, Isa bin Jariyah sangat lemah Hadisnya. Bahkan al-Nasa’i pernah mengatakan bahwa ‘Isa bin Jariyah adalah Matruk (Hadisnya semi palsu karena ia adalah pendusta).[8]

Ada lagi Hadis lain yang lebih kongkrit dari Hadis di atas, yaitu riwayat Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ.

“Nabi Saw pernah mengikami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.”[9]

Hadis ini nilainya sama dengan Hadis Ubay bin Ka ‘ab di atas, yaitu matruk (semi palsu), karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah itu tadi.

Jadi baik shalat tarawih dua puluh rakaat, maupun shalat tarawih delapan rakaat, apabila menggunakan dua Hadis di atas tadi, yaitu Hadis lbnu Abbas untuk tarawih yang dua puluh rakaat dan Hadis Jabir untuk tarawih yang delapan rakaat, maka dua-duanya adalah salah.

Semuanya Benar
Shalat tarawih delapan rakaa t maupun dua puluh rakaat itu semuanya benar apabila menggunakan Hadis yang shahih, di mana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan, yang kemudian lazim dikenal dengan shalat tarawih. Hadis itu adalah:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري)

“Siapa yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni.”[10]

Dalam Hadis ini, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan. Mau sepuluh rakaat, silakan. Mau dua puluh rakaat, silakan, Mau seratus rakaat, silakan. Mau delapan rakaat pun silakan. Maka shalat tarawih dua puluh rakaat dan delapan rakaat, apabila meng­gunakan Hadis ini sebagai dalil, keduanya benar.

Hanya bedanya nanti, mana yang afdhal saja. Bisa jadi shalat tarawih dua puluh rakaat itu afdhal daripada delapan rakaat, apabila tarawih dua puluh rakaat itu dilakukan dengan baik, khusyu, dan lama. Sementara shalat tarawih delapan rakaat dilakukan dengan tidak baik.

Sebaliknya, shalat tarawih delapan rakaat itu afdhal daripada dua puluh rakaat, apabila yang delapan rakaat itu dikerjakan dengan baik, khusyu, dan lama. Sementara yang dua puluh rakaat dikerjakan dengan cepat dan tidak khusyu.”

Tentang Hadis Aisyah 8 Raka’at
Memang benar ada Hadis sha­hih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lain-lain dari Aisyah Isteri Nabi. Kami tidak ingin mengomentan Hadts itu, karena ia adalah Hadis shahih, sehingga tidak Perlu komentar lagi. Yang ingin kami komentari adalah peamahaman kita yang menjadikan Hadis Aisyah itu sebagai dalil shalat tarawih.

Pertama:

Kawan-kawan yang menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil shalat tarawih biasanya tidak membaca Hadis itu secara utuh, sehmgga mungin dapat menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Hadis Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai, dan Imam Malik bin Anas.Kisahnya adalah, seorang Tabi’i yang bernama Abu Salamah bin Abd al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: «تَنَامُ عَيْنِي وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي»

Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selam bulan Ramadhan, dan sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan Jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat Witir? Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mata­ku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.[11]

Jadi apabila kita baca Hadis itu secara utuh, maka konteks Hadis itu adalah berbicara tentang shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir Hadis itu Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Dan seperti kami jelaskan di depan, shalat tarawih itu adalah shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam-malam Ramadhan. Se­dangkan shalat witir adalah shalat sunnah yang dilakukan setiap malam, sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan Ramadhan.

Kedua:

Dalam Hadis tersebut Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang di­lakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Rama­dhan maupun bukan Ramadhan, tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih. Para ulama umumnya juga menempatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih.[12]

Untuk memperkuat kesimpulan bahwa Hadis Aisyah di atas itu adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih, adalah keterangan lain yang juga dari Aisyah sendiri, di mana beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الوِتْرُ، وَرَكْعَتَا الفَجْرِ(رواه البخاري ومسلم و أبو داود)

Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat witir dan dua rakaat fajar. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).[13]

Ketiga, umumnya Kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu menggunakan Hadis Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau konsekwen mengikuti Nabi Saw, silakan mereka shalat sebelas rakaat itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.

Kenyataannya tidak demikian. Kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah tadi pada bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis itu tidak pernah mereka sebut-sebut. Kami tidak tahu pasti apakah kawan-kawan yang shalat sebelas rakaat pada bulan Ramadhan itu juga shalat sebanyak itu diluar Ramadhan. Lagi pula. ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam sampai kakinya pecah-pecah.

المُغِيرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُومُ لِيُصَلِّيَ حَتَّى تَرِمُ قَدَمَاهُ – أَوْ سَاقَاهُ – فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ: «أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا»

Al-Mughirah r.a menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai pecah­ pecah kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?”[14]

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya sebelas rakaat . Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki beliau tidak akan pecah-pecah. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah itu adalah shalat witir, bukan shalat malam secara keseluruhan.

Dalam Hadis yang lain Nabi Saw bersabda:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah shalatmu terakhir pada malam hari adalah shalat witir.[15]

Aisyah sendiri juga mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى يَكُونَ آخِرَ صَلَاتِهِ الْوِتْرُ

Rasulullah Saw shalat malam, sehingga shalat paling akhir yang beliau lakukan adalah shalat witir.[16]

Dalam Hadis lain Aisyah juga mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةٌ عَلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ

Nabi Saw shalat malam dan saya tidur terlentang di atas tempat tidumya. Apabila beliau hendak shalat witir, beliau membangunkan aku, kemudian aku shalat witir.[17]

Jadi shalat setiap malam sebelas rakaat yang dilakukan Nabi Saw adalah shalat witir, dan itu adalah shalat paling akhir dilakukan Nabi Saw setiap malam. Sebelum shalat witir, shalat apa dan berapa rakaat yang dilakukan Nabi Saw? Tampaknya Aisyah tidak tahu. karena beliau waktu itu masih tidur.

Variasi Shalat Witir
Hadis Aisyah yang sudah kami jelaskan di muka tadi adalah Hadis tentang shalat witir. bukan Hadis tentang shalat tarawih. Sebelas rakaat itu adalah satu paket shalat witir dengan jumlah rakaat yang maksimal. Shalat witir minimal satu rakaat.

Dalam berbagai riwayat yang shahih, shalat witir itu bervariasi. boleh 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat dan 11 rakaat Bahkan ada riwayat 13 rakaat. Shalat witir itu juga boleh dilakukan dengan dua rakaat lalu salam, kemudian ditambah satu rakaat. Dapat juga tiga rakaat satu kali duduk, kemudian salam. Ini bagi witir yang tiga rakaat. Witir lima rakaat dapat dilakukan dengan bentuk empat rakaat dengan duduk sekali, kemudian ditambah satu rakaat. Nabi Saw juga pernah shalat witir sembilan rakaat dan duduk serta salam pada rakaat kedelapan.[18]

Salah Tempat
Hadis Aisyah itu dipakai oleh sementara orang untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat, menurut kami hal itu tidak tepat. Karena hal itu berarti satu Hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua: delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir. Kalau Hadis Aisyah itu dipakai wntuk shalat witir saja, itu benar.

Sahabat Memakai Hadis Palsu?
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab belum ada yang memalsu Hadis. Menurut para ulama ahli Hadis, pemalsuan Hadis baru ada sesudah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35H. Bahkan Dr. Shubhi al-Shalih menyebutkan bahwa sejak tahun 41 H. pemalsuan Hadis itu muncul ke permukaan.[19] Sedangkan Khalifah Umar wafat pada tahun 23 H. Jadi para Sahabat tidak memakai Hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua puluh rakaat.

Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu sendiri yang kami sebut sebagai Hadis palsu adalah diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Sulaiman al~Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H. Dia inilah yang memalsu Hadis tersebut.[20] Jadi Hadis itu tentunya muncul pada pertengahan abad ketiga.

Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Ka’ab yang mengimami shalat tarawih pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut Hadis mauquf, karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis disandarkan kepada Nabi Saw. disebut Hadis marfu’. Hadis Ubay bin Ka ‘ab ini diriwayatkan oleh Imam al~Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, Juz II hal. 496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi, Imam al-Zaila’i. Imam al-Subki, Imam Ibn al-‘Iraqi. Imam al-‘Aini. Imam al­-Suyuti, Imam Ali al-Qari. Imam al-Nimawi, dan lain-lain.[21]

Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Ka’ab itu dhaif (lemah). seperti Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti dari Darul Ifta di Riyadh Saudi Arabia.[22]

Tarawih 20 Rakaat Sunnah Nabi Saw.
Dalam Hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat tarawih itu selama dua atau tiga malam saja. Beliau melakukannya dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu oleh para jamaah untuk shalat yang sama, tetapi beliau tidak keluar ke masjid.

Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan awal masa Khalifah Umar. tidak ada yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Baru kemudian pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, beliau menyuruh Sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid. Dan ternyata Ubay bin Ka ‘ab bersama para Sahabat yang lain shalat tarawih dua puluh rakaat.[23]

Tentu pertanyaannya sekarang, dari mana para Sahabat itu mengetahui bahwa shalat tarawih itu dua puluh rakaat, padahal tidak ada keterangan yang kongkrit dari Nabi Saw. bahwa beliau shalat tarawih dua puluh rakaat? Mengapa ketika mereka shalat tarawih dua puluh rakaat tidak ada seorang pun yang protes atau menyalahkan shalat mereka?

Mengapa Aisyah waktu itu diam saja, tidak protes. Padahal Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan lebih dari sebelas rakaat? Apabila yang dilakukan para Sahabat itu menyalahi tarawih yang dilakukan Nabi Saw, mengapa para Sahabat semuanya diam, padahal ketika Umar bin al-Khattab mau membatasi besarnya mahar saja, beliau diprotes oleh seorang wanita karena hal itu bertentangan dengan al­-Qur’an?[24]

Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada dua cara pendekatan.

Pertama:

Apa yang dilakukan para Sahabat itu, di mana mereka shalat tarawih dua puluh rakaat, menurut disiplin Ilmu Hadis disebut Hadis Mauquf. Hadis mauquf ini seperti disebutkan oleh Imam al­-Suyuti, apabila tidak berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dan pelakunya dikenal tidak menerima keterangan-keterangan dari sumber-sumber mantan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Hadis mauquf itu statusnya sama dengan Hadis marfu’ yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Alasannya, Sahabat tentu tidak mengetahui hal itu kecuali dari Nabi Saw.[25]Masaah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya adalah bukan masalah ijtihadiyah, bukan juga masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, melainkan para Sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi Saw. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyah atau masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para Sahabat akan berbeda-beda dalam melakukan shalat tarawih. Sebab lazimnya, dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang dapat berperan, akan terjadi perbedaan-perbedaan.

Oleh karena itu, Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat tadi, kendati hal itu mauquf kepada para Sahabat, namun statusnya sama dengan Hadis marfu: yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Apabila berstatus sebagai Hadis marfu: maka ia memiliki hujjiyah (ke­kuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya Hadis-hadis marfu’ yang lain.

Kedua:

Ketika Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat, tidak ada satu orang pun yang prates. menyalahkan, atau menganggap hal itu bertentangan dengan yang dikerjakan Nabi Saw. Padahal pada waktu itu Aisyah, Umar bin al-Khattab, Abu Hurairah , Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, dan para Sahabat senior yang lain, semuanya masih hidup. Sekiranya tarawih dua puluh rakaat itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw, tentu para Sahabat itu sudah protes terhadap apa yang dilakukan Ubay bin Ka ‘ab.

Bandingkan misalnya pada masa Marwan dari Dinasti Bani Umayyah, jauh setelah masa Umar bin al-Khattab, Marwan pernah mengubah tatanan shalat ‘ld (Hari Raya). Sunnahnya, atau berdasarkan tuntunan Nabi Saw. shalat ‘ ld itu dikerjakan sebelum khutbah, berbeda dengan shalat Jum’at, yang mendahulukan khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan, apabila dalam shalat ‘ld itu shalat dida­hulukan baru kemudian khutbah, maka banyak jamaah yang bubar tidak mau mendengarkan khutbah. Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘ld menjadi khutbah dahulu kemudian shalat.

Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh orang banyak. “Wahai Marwan. kamu menentang Sunnah Nabi Saw.” begitu kata seorang dari mereka yang mengecam Marwan.[26]

Oleh karena shalat tarawih dua puluh rakaat yang dipimpin Ubay bin Ka’ab itu tidak ada satu pun dari para Sahabat yang protes atau menentang, maka hal itu, menurut Imam lbnu Abd al-Barr (w. 463 H). Imam lbnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) merupakan ijma’ (konsensus) Sahabat yang kemudian di ikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi ‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan menurut Imam Qudamah. apa yang disepakati oleh para Sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.[27]

Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) juga menegaskan, “Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama mengatakan bahwa hal itu adalah Sunnah, karena Ubay bin Ka’ab shalat dihadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari.”[28] Jadi, shalat tarawih tarawih dua puluh rakaat itu merupakan Sunnah Nabi Saw, dan bukan bid’ah.

Tiga Dalil Tarawih 20 Rakaat

Masalah pendapat seseorang yang menga­takan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah, maka kami akan menjelaskan dahulu apa yang disebut bid’ah. Masalahnya ada se­ mentara orang yang keliru dalam memahami bid’ah. “Dalam masalah ibadah, bid’ah itu adalah amal-amal ibadah yang tidak ada dalilnya.

Dan yang namanya dalil itu adalah al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Ada orang berkata bahwa berdoa setelah shalat itu adalah bid’ah. Padahal ada Hadis hasan riwayat Imam al-Tirmidzi di mana Nabi Saw. ditanya oleh para Sahabat:

أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

Doa manakah yang paling didengar Allah?” Nabi Saw menjawab, “Doa pada waktu tengah malam yang akhir dan doa sehabis shalat-shalat fardhu.” [29]

Dan masih banyak contoh-contoh semacam itu, yang intinya adalah apa yang disebut bid’ah itu ternyata apa yang dia itu tidak tahu. Pemahaman seperti ini tentu harus diluruskan.

Dalil shalat 20 rakaat dapat dirangkum sebagai berikut.

1)Hadis shahih di mana Nabi Muhammad Saw ti­dak membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري)

2)Hadis mauquf riwayat al-Bukhari dan Muslim. Di mana ‘Umar bin al-Khattab ra memerintahkan Ubay bin Ka‘ab untuk menjadi shalat tarwih di masjid. Dan ternyata Ubay juga para sahabat lain shalat tarawih dua puluh rakaat. Dan tidak ada satu pun sahabat yang memprotes hal itu. Padahal pada waktu itu sayyidah Aisyah, ‘Umar bin al-Kattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah. Dan sahabat senior lain, semuanya masih hidup.

3)Ijma’ sahabat. Menurut Ibn Abd al-Bar, Ibn Qudamah al-Maqdisi, kemudian Abu Hanifah, al-Syafi’i, dan ahmad bin Hanbal. Shalat tarawih dua puluh rakaat adalah jima’ (konsensus). Bahkan Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menuturkan. Bahwa apa yang disepakati oleh para sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.

Tarawih 20 Raka’at Adalah Bid’ah yang Paling Baik
Khalifah Umar bin al~Khattab mengatakan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah yang paling baik. Bagaimana dengan itu?”Riwayat itu shahih, terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari.[30] Namun maksud bid’ah di situ bukan ibadah yang tidak ada dalilnya, tetapi maksudnya adalah bid’ah dalam arti kebahasaan. Yaitu bahwa shalat tarawih dengan berjamaah itu merupakan sesuatu yang baru, karena tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak per­nah ada. Nabi Saw hanya melakukannya dua kali atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan berjamaah. Maka tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak ada pada masa Nabi Saw.

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan awal masa Khalifah Umar juga tidak pernah shalat tarawih dilakukan dengan cara berjamaah. Baru pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab itulah shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah. Maka hal itu, ditinjau dari sudut kebahasaan, adalah sesuatu yang baru yang dahulunya tida k ada. Dan itulah arti bid ‘ah dari sudut kebahasaan.

KH. M. Hasyim Asy ‘ari dan KH. Ahmad Dahlan Shalat Tarawih 20 Rakaat
Jadi shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah bukanlah bid’ah, melainkan merupakan sunnah Nabi Saw yang telah dilakukan dan hal itu diterima oleh umat Islam sejak masa Khalifah Umar bin al~Khattab sampai hari ini. Dan khususnya di Masjidil Haram Makkah, shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah dilakukan sejak masa Khalifah Umar bin al~Khattab, kurang lebih tahun 15 H sampai dengan masa Raja Fahd bin Abd al-Aziz tahun 1424 H ini.

Di Indonesia, mayoritas umat Islam juga shalat tarawih dua puluh rakaat, baik umat Islam secara umum maupun tokoh-tokoh ulamanya. Pendiri Perserikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, shalat tara­wih dua puluh ra kaat. Begitu pula pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadrat al-Syeikh KH. M. Hasyim Asy ‘ari, juga shalat tarawih dua puluh rakaat.[31]

Dan kenyataannya bahwa Shalat Terawih dua puluh rakaat itu telah dilakukan dan diterima oleh umat Islam sejak masa Sahabat sampai masa kini. yang dalam ilmu Hadis disebut dengan talaqqi al-ummah bi al-qabul, dan hal itu merupakan suatu faktor yang memperkuat oten­tisitas Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu.[32]

al~Shan’ani dan al~Albani
Selama masa 1409 tahun itu, dalam catatan sejarah perjalanan agama Islam tidak pernah ada ulama yang mempermasalahkan tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah, baik pada masa Sahabat, Tabi’in, Ulama Salaf dan Khalaf, kecuali beberapa orang seperti Syeikh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam dan Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani dalam kitabnya Risalah al-Tarawih. Dan pendapat Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani ini disanggah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seperti disebutkan di muka tadi.

Al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subul al-Salam Syarah kitab Bulugh al-Maram karya Imam lbnu Hajar al-Asqalani, memang mengatakan bahwa shalat tarawih secara berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu itu bid’ah.[33] Sedangkan Syeikh Muhammad Nashir al­-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Dhuhur lima rakaat.

Shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah itu sudah dila­kukan oleh para Sahabat, para Tabi’in, para ulama salaf sampai masa­-masa belakangan, dan tidak ada orang yang mempermasalahkan, tidak ada orang yang menganggap hal itu salah atau menyalahi Sunnah Nabi Saw. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kemudian al-Shan’ani yang hidup antara pada abad ke-11 dan ke-12 Hijri mempermasalahkan shalat tersebut? Mengapa baru al-Albani, seorang ulama yang hidup masa sekarang ini, yang pertama kali mempersoalkan bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama dengan shalat Dhuhur lima rakaat?

Apakah selama belasan abad lamanya itu tidak ada ulama yang tahu tentang shalat tarawih, dan baru al-Shan’ani yang mengetahui tentang shalat tarawih sehingga ia mengatakan bahwa shalat tarawih berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu itu bid’ah? Apakah selama lima belas abad itu tidak ada ulama yang tahu tentang shalat tarawih, dan baru al-Albani yang mengetahuinya sehingga ia mengatakan bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama seperti shalat Dhuhur lima rakaat?

Tentu tidak demikian, Para Sahabat adalah orang-orang yang paling tahu tentang shalat Nabi Saw, karena mereka hidup semasa dan selalu bersama beliau. Sekiranya shalat tarawih dua puluh rakaat itu menyalahi Sunnah Nabi Saw. tentulah Ubay bin Ka’ab dan Umar bin al-Khattab sudah diprotes oleh Sahabat-Sahabat yang lain. Sekiranya shalat tarawih yang benar itu hanya sebelas rakaat seperti dipahami oleh sementara orang dari riwayat Aisyah, tentulah pada waktu itu Aisyah sudah protes kepada Ubay bin Ka’ab atau Umar bin al-Khattab. Dan ternyata semua itu tidak pernah ada dalam sejarah. Baik Umar bin Khattab maupun Ubay bin Ka’ab, keduanya tidak pernah diprotes oleh para Sahabat yang lain.

Memang terkadang cara-cara al-Shan’ani dalam Subul al-Salam dapat mengecoh pembacanya yang kurang teliti. Misalnya ketika berbicara tentang Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat dan Hadis shalat tarawih delapan rakaat. Ketika ia menukil Hadis Ibnu Abbas di mana Nabi Saw shalat tarawih duapuluh rakaat, al-Shan’ani mengkritik Hadis itu dengan menyebutkan kelemahan-kelemahannya. Tetapi ketika menukil Hadis Jabir di mana Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat, al-Shan’ani tidak berkomentar sepatah kata pun. Ia diam seribu ba­hasa.[34] Sikap al-Shan’ani ini memberikan kesan bahwa Hadis Jabir itu shahih, sedangkan Hadis Ibnu Abbas itu tidak shahih. Padahal seperti kami katakan di depan tadi, kedua Hadis itu sama-sama lemah sekali, yaitu maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).”

Tarawih l000 Rakaat Sunnah Nabi Saw
Apabila tarawih duapuluh rakaat itu Sunnah Nabi Saw, apakah hal itu berarti tarawih yang delapan rakaat bid’ah?”

Begini, Apabila tarawih delapan itu menggunakan Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi, maka tarawih delapan rakaat itu Sunnah Nabi Saw juga, bukan bid’ah. Bahkan ada riwayat bahwa warga Kota Madinah ada yang shalat tarawih tiga puluh enam rakaat. Namun menurut Imam Ibnu Qudamah, riwayat itu lemah.[35] Walaupun begitu, kalau kita mau shalat tarawih tiga puluh enam rakaat, bahkan seribu rakaat, maka hal itu boleh-boleh saja, sah-sah saja, dan mengikuti Sunnah Nabi Saw, bukan bid’ah, asalkan kita menggunakan Hadis yang tidak membatasi rakaat shalat tarawih tadi.”

Tarawih Syirik
Bagaimana jika memilih terawih delapan rakaat karena praktis, cepat rampung?

Beribadah itu harus berdasarkan dalil, jangan mengikuti selera atau hawa nafsu. Beribadah yang mengikuti selera alias hawa nafsu justru berdosa, bahkan sangat berbahaya. Sebab pelakunya bisa syirik. Di dalam al~Qur’an, ada ayat yang menyebutkan:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ

Tahukah kamu orang yang menjadikan seleranya sebagai Tuhannya? (Surah al­-Furqan/25: 43).

Jadi apabila kita beribadah bukan karena taat kepada Allah, melainkan taat dan menuruti selera alias hawa nafsu, maka kita telah menjadikan selera itu sebagai tuhan. Dan ini sangat berbahaya karena mempertuhankan selain Allah itu adalah syirik. Apabila kita syirik, maka seluruh amal kita akan hancur, tidak ada gunanya.

Allah berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Apabila mereka (para nabi) itu syirik, maka semua amalnya akan hancur. (Surah al-An’am/6: 88)

Karenanya, jangan sekali~kali kita beribadah karena menuruti selera, tetapi karena menuruti perintah Allah melalui dalil~dalil agama.

Tidak Berorientasi Angka
“Oleh karena itu, seyogyanya dalam ibadah shalat tarawih, kita tidak berorientasi kepada angka, alias jumlah rakaat. Silakan mau tarawih delapan rakaat asalkan mengikuti Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi. Namun orientasinya adalah lama dan bagusnya shalat itu. Begitu pula tarawih yang dua puluh rakaat, atau empat puluh rakaat, harus lama dan bagus. Tarawih delapan rakaat tentu bacaannya panjang, sedangkan tarawih duapuluh rakaat lebih banyak ruku dan sujudnya. Semuanya baik, asalkan tidak menuruti selera atau hawa nafsu.

Referensi:
[1]Dr. Ibrahim Anis. et.al.. al-Mu’jam al-Wasit. Dar al-Fikr. ttp .. tth., I/380.
[2]Lihat misalnya.al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth .. I/342.
[3]al-Shan’ani. Subul al-Salam, Dar al-Fikr. ttp .. I/11.
[4]al-Tabrani, al-Muj’am al-Kabir, Editor Hamdi Abd al-Majid, Dar Khalf Jami’ah al-Azhar, Cairo, tth; Xl/393.
[5]lbnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr. Beirut, 1303 H/ 1983 M. I/195.
[6]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, I/47-48.
[7]lbnu Balban. al-Ihsan bi Tartib Shahih lbn Hibban, Dar al-Fikr, Beirut, 1417 H/ 1996 M. IV/342. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashar dan Abu Ya’la.
[8]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311.
[9]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311.
[10]al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth .. I/342.
[11]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth.. I/342-343, Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/509. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/86-87. al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi. Editor Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Fikr, Beirut, 1403/19983 ; I/274- 275. al-Nasai, Sunan al-Nasai, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, tth; III/234-235. Malik bin Anas. al-Muwatta, Editor: Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Qalam. Beirut, tth; hal. 90.
[12]Lihat secara umum kitab-kitab dalam foot note no. 11 di atas.
[13]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/199. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/508. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/84.
[14]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/198
[15]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/177. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/516
[16]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/510
[17]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/510
[18]Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/508-510. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/84-100. al- Nasai, Sunan al-Nasai, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, tth; III/233-234.
[19]Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Musthalahatuh, Dar a1-‘Ilmli al-Malayin, Beirut, 1979; hal. 266.
[20]al-Dzahabi, Mizan al- ‘Itidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, I/48.
[21]Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tara wih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 7.
[22]Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tara wih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 11-27.
[23]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/342. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim. Dar Alam al-Kutub Riyadh 1417/1996, I/523-524. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; II/102-104. Muhammad Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth; II/10 menukil dari al-Baihaqi. Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 11-27.
[24]Imam lbnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh, 1418/ 1998; I/571.
[25]al-Suyuthi. Tadrib al-Rawi; Editor Abdul Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Kutub al-Haditsiyyah, Cairo. 1385/1966; I/190-191.
[26]Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh: 1389/ 1970; I/677-678. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. al-Tirmidzi, al- Nasa’i. dan lbnu Majah.
[27]Abd al-Wahhab abd al-Latif (Editor) dalam Malik bin Anas, Loc.Cit. lbnu Qudamah. al-Maqdisi, al-Mughni; Editor Dr. Abdullah al-Turki dan Dr. Abd.Al- Fattah Muhammad al-Hulluw. Dar Alam al-Kutub, Riyadh, 1417/1997; II/ 604.
[28]Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Ibn Taimiyah, Editor Abd al-Rahman Muhammad Qasim, Wazarah al-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Riyadh, 1316/1995; XXIII/112.
[29]al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi. Editor Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Fikr, Beirut, 1403/19983 ; V/188.
[30]al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth..I/342.
[31]Keterangan bahwa KH. Ahmad Dahlan shalat tarawih dua puluh rakaat kami peroleh dari seorang kawan anggota Lajnah Tarjih Pimpnan Pusat Muhammadiyyah dan juga salah seorang Pembantu Rektor Universitas Muhammadiyyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA). Sedangkan keterangan tentang Hadrat al-Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari shalat tarawih dua puluh rakaat kami peroleh dari keterangan santri-santri beliau yang menjadi guru-guru kami di Pesantren Tebuireng Jombang.
[32]Syeikh Ismail al-Anshari, Tashih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’at wa al-Radd ‘ala al­-Albani fi Tadh’ifih, Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Riyadh, 1408 H/ 1988 M; hal. 12.
[33]Muhammad Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth; II/11
[34]Muhammad Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth; II/10
[35]lbnu Qudamah. al-Maqdisi, al-Mughni; Editor Dr. Abdullah al-Turki dan Dr. Abd Al-Fattah Muhammad al-Hulluw. Dar Alam al-Kutub, Riyadh, 1417/1997; II/ 604.

Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 137-159.

0 komentar:

Posting Komentar

SAFINATUN NAJAH

More »