Minggu, 20 November 2022
Perbedaan antara Syari'ah dan Fiqih
Perbedaan antara syari'ah dan fiqih
Kerap aku dengar, hanya karena berbeda pandangan dalam khilafiyyah fiqih tega-teganya dia menuduh orang lain dengan sebutan menantang syari'ah, melawan syari'ah bahkan menyebutnya musuh syari'ah islam, ini berbahaya dan harus diluruskan. Padahal terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara syari'ah dan fiqih. Berikut beberapa pandangan ulama seputar perbedaan tersebut :
1. Fiqih ada yang bersifat qothi'i dan ada pula yang zhonni. Yang qothi'i disebut syari'ah dan yang zhonni inilah area ijtihad fiqih pada umumnya
الفقه فيه ما هو قطعي وما هو ظني والقطعى هو شريعة والظنى مجال الاجتهاد والفهم
الفقه الاسلامي ومدارسه ص 18
2. Syari'ah adalah nusush itu sendiri baik ayat atau hadits. Sedangkan fiqih adalah pemahaman ulama terhadap Nash. Istinbat, taqrir, tashil, ta'qid qaidah yang dihasilkan dari dilalah Nash itu sendiri
والشريعة هى النصوص اما الفقه فهو ما يفهمه العلماء من تلك النصوص وما يستنبطونه منها ويقررون ويؤصلون وما يقعدون من القواعد المستمدة من دلالات النصوص
المدخل الفقه العام
للشيخ مصطفى أحمد الزرقا ج 1 ص 153-154
3. Kebanyakan yang tertulis dalam kitab² fiqih adalah masalah² ijtihadi zhonniyyah. Dan jangan gegara khilafiyyah seperti ini menjadikan seseorang mencela syari'ah sebagaimana perbuatan musuh² Islam
ان أكثر ما فى كتب الفقه مسائل اجتهادية وآراء ظنية مستنبط بعضها من اقوال فقهائهم . . . ولا يجعل ضعف شيئ منها مطعنا فى أصل الشريعة كما يفعل ذالك بعض أعداء الاسلام
مقدمة السيدمحمد رشيد رضا لكتاب المغنى ابن قدامة
ج1 ص 17
4. Jangan mencampuradukkan antara keduanya. Syari'ah bersifat maksum, gak mungkin salah. Sedangkan fiqih adalah ijtihad ulama dalam memahami Nash(tidak maksum). Dengan demikian jangan salahkan syari'ah tapi salahkanlah pemahaman faqih terhadap Nash itu sendiri
فلا يجوز الخلط بين المفهومين لان الشريعة معصومة والفقه اجتهاد فى الفهم وعلى هذا فلا تنصرف التخطئة الى الشريعة بل الى فهم الفقيه
الاتجاهات الاجتهادية المعاصرة في الفقه الاسلامى
الدكتور الذوادى قوميدى ص 63
Secara umum kita tarik sebuah kesimpulan bahwa syari'ah itu adalah nusush qothi'i yang Maksum, terjaga dari salah. Sedangkan fiqih itu adalah khilafiyyah lintas ulama dalam memahami nushush itu sendiri
Menuduh seorang menantang syari'ah itu gak main² konsekuensinya. Berbeda hanya sebatas saling kritik lintas ijtihad ulama. Tentu dilakukan oleh sang pakar, bukan asal bicara
Contoh wajib menutup aurat itu syari'ah sedangkan berniqob atau tidak bagi wanita adalah fiqih. Wajib sholat itu syari'ah sedangkan baca bismillah dalam Fatihah itu Fiqih
Copas:
https://www.facebook.com/profile.php?id=100069672212281&mibextid=ZbWKwL
Qais bin Sa'ad bin Ubadah Tukang Memutihkan Hutang
TUKANG MEMUTIHKAN HUTANG
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Qais bin Sa'ad bin Ubadah radhiyallahu'anhu adalah shahabat Nabi yang dikenal dengan keberanian dan kedermawanannya. Bahkan sayidina Abu Bakar dan Umar, orang yang pernah menyedekahkan seluruh harta dan setengah hartanya, masih dibuat kagum oleh sifat dermawannya.
Bagaimana tidak, Qais ini punya kebiasaan berkunjung ke rumah-rumah untuk menawarkan hutang, lalu saat orang akan membayarnya ia akan persulit, yakni ia tidak bersedia untuk dibayar dengan menambah waktu jatuh tempo hutang.
Dan kalau tetap dipaksa, ia akan menerima uangnya lalu mengembalikannya lagi sebagai bentuk sedekah atau hadiah.
Suatu hari Qais radhiyallahu'anhu jatuh sakit. Dan kali ini ia merasa ada yang janggal, karena teman-temannya bila mengetahui ia sedang sakit, biasanya akan bersegera berduyun-duyun menjenguknya.
Ini agak berbeda, ia sudah terbaring sekian hari, baru satu dua orang yang datang ke rumahnya. Ia pun mencari tahu apa penyebabnya. Akhirnya salah satu dari mereka berterus terang kepadanya dengan mengatakan :
إنهم يستحيون مما لك عليهم من الدين.
"Sungguh mereka malu, karena masih memiliki tanggungan hutang yang belum dibayarkan kepadamu."
Mendengar itu, Qais terkejut seraya berkata :
أخزى الله مالا يمنع عني الإخوان من الزيارة.
"Alangkah buruknya hartaku yang mencegah saudara- saudaraku untuk mengunjungiku...!"
Lalu ia menyuruh pembantunya, untuk mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa ia memutihkan semua hutang-hutang siapapun kepadanya.
Tak lama berduyun-duyunlah orang-orang menjenguk Qais, hingga sebuah riwayat menyebutkan pintu rumahnya sampai rusak karena begitu banyaknya orang yang berdesakan.
_________
📜Risalah al Qusairiyah hal. 136
MUSHAF DISEBUT AL QUR'AN (Secara Majas)
🌺 MUSHAF DISEBUT AL QUR'AN (Secara Majas)
Saya awali dengan pembahasan : AL QUR'AN BUKAN MAKHLUK:
1. Al Qur'an bukan makhluk karena Al Qur'an adalah Kalam Allah
2. Kalam Allah adalah sifat Allah. Sifat Allah adalah qadim (ada sebelum adanya makhluk)
3. Semua sifat Allah termasuk sifat Kalam Allah itu berada pada Dzat Allah dan tidak pernah berpindah pada selain Dzat Allah.
4. Segala sesuatu yang ada pada selain Dzat Allah maka sesuatu itu adalah makhluk.
5. Kalam Allah ada pada Dzat Allah dan tidak pernah berpindah pada makhluk. Adapun yang berpindah hanyalah informasi yang dibawa oleh Jibril bahwa Allah berkalam begini dan begitu yang dengan melalui proses wahyu maka informasi tersebut diterima oleh Nabi dan dicatat oleh para sahabat ke dalam mushaf-mushaf. Kalam Allah tetap ada pada Dzat Allah dan tidak pernah berpindah pada selain Dzat Allah. Kalam Allah tidak berpindah pada mushaf-mushaf.
6. Barangsiapa meyakini bahwa sifat Kalam Allah yang qadim berada pada selain Dzat Allah misal berada pada mushaf-mushaf maka orang tersebut tanpa sadar telah menganggap bahwa sifat Kalam Allah adalah makhluk. Kenapa?
"Karena segala sesuatu yang ada pada selain Dzat Allah maka sesuatu itu adalah makhluk."
___________
📌 Sekarang kita masuk pada pembahasan:
"MUSHAF DISEBUT AL QUR'AN (Secara Majas)"
Mushaf bisa dan boleh disebut Al Qur'an, tapi ini hanya secara majas, bukan dalam arti hakekat sehingga mushaf diyakini bukan makhluk.
Mushaf adalah makhluk.
Al Qur'an yang bukan makhluk adalah Kalam Allah, sifat Allah yang ada pada Dzat Allah, bukan yang ada pada selain Dzat Allah.
Contoh mushaf disebut Al Qur'an secara majas:
Dari Abdullah bin Umar RA, dia berkata:
أَنَّهُ كَانَ يَنْهَى أَنْ يُسَافَرَ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ، مَخَافَةَ أَنْ يَنَالَهُ الْعَدُوُّ
"Rasulullah SAW melarang untuk pergi dengan membawa AL QUR'AN ke wilayah musuh karena takut diambil oleh musuh" (Shahih Muslim, juz 3 halaman 1491, nomer hadits 1869)
Jelas "Al Qur'an" dalam hadits tersebut adalah MUSHAF. Bukan Al Qur'an dalam arti Kalam Allah, sifat Allah yang qadim yang ada pada Dzat Allah.
Mustahil sifat Kalam Allah yang qadim disentuh, dipegang, dibawa dan digendong oleh makhluk kemana-mana.
Terkait hadits tersebut, Imam Al Mudzhiri menulis dalam kitab Al Mafatih fi Syarhil Mashobih juz 3 halaman 103:
يعني: أن يصيب الكفارُ مصحفَ القرآن ويُحقِّروه، أو يحرقوه، أو يلقوه في مكان نجس
"Maksudnya khawatir orang-orang kafir mendapatkan MUSHAF AL QUR'AN kemudian MENGHINAKANNYA, MEMBAKARNYA atau MELEMPARNYA KE TEMPAT NAJIS"
Jadi, jelas sekali bahwa "Al Qur'an" dalam hadits tersebut hanyalah majas. Maksud dari Al Qur'an dalam hadits tersebut adalah MUSHAF.
Adapaun MUSHAF maka jelas ia adalah makhluk, buktinya:
1. Dapat dihinakan oleh orang-orang kafir, semisal diludahi, diinjak, diduduki, dan sebagainya.
2. Dapat dibakar dan dirusak
3. Dapat dibuang ke tempat najis, dan sebagainya
Sedangkan Al Qur'an Kalam Allah sebagai sifat Allah yang qadim:
1. Senantiasa mulia dan mustahil dihinakan
2. Tidak akan terbakar karena kekal
3. Senantiasa suci dan mustahil najis
Jadi, sebutan "AL QUR'AN" bisa bermakna hakekat yaitu Kalam Allah, sifat Allah yang qadim dan bukan makhluk. Bisa pula bermakna majas yaitu MUSHAF. Adapun mushaf, jelas ini makhluk!
Wallahu a'lam...
FB: Saiful Anwar
Jumat, 28 Oktober 2022
Da'i itu Ada 4 Macam :
Da'i itu ada 4 macam :
1. Da'i yg mengajak untuk meng-Esakan Allah . Dan ini ada 2 macam :
a. Lewat Ucapan : seperti Imam Asy'ari dan Imam Maturidi dan para pengikut mereka sampai hari Kiamat.
b. Lewat perbuatan : yaitu para Mujahidin.
2. Da'i yg mengajak ummat menuju Hukum-hukum Syar'iyah , seperti para Imam yg empat ( Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali )
3. Da'i yg mengajak ummat untuk menghilangkan hijab yg ada di Hati untuk Musyahadah 'Allam Al-Ghuyub agar selalu Daim Fi Hadhrotillah sampai Laisa Fi Qolbihi Siwahu . Mereka ini seperti Imam Junaid Al-Baghdadi dan selainnya dari kalangan Ulama Sufi Ahli Hakikat.
4. Da'i yg mengajak Ummat lewat panggilan untuk melaksanakan kewajiban, seperti para Muadzzin ( Tukang Azan ) .
Semua ini terkumpul pada diri Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan berbagi-bagi pada diri sahabat, begitulah seterusnya kepada generasi berikutnya sampai kiamat.
____
Ringkasnya , da'i ada 4 macam :
1. Ahli Tauhid dan jihad.
2. Ahli Fiqih
3. Ahli Tasauf
4. Mengajak melaksanakan kewajiban.
___
Maka kita melihat para ulama kita memiliki Takhossus tersendiri dalam dakwahnya.
1. Ada yg selalu mendakwahkan Tauhid , Aqidah , dan membuka kesesatan Ahli sesat seperti membuka kesesatan Wahabi, mu'tazilah, Qodariyah , jabariyah, Syi'ah , dll. Dan menanamkan Aqidah Ahlussunah Wal Jama'ah.
Di poin ini banyak perdebatan dan penegasan serta tak ada yg ditutup-tutupi, sehingga terkesan mereka disebut keras, ingin menang sendiri , dll.
2. Ahli Fiqih lebih disenangi, karena menjelaskan sesuatu yg mudah dicerna dan dipraktekkan ummat, walau sangat sering juga bertabrakan dengan org-org yg ahli tekstual , dan ahli ro'yu bebas, serta Anti madhzhab dan yg tak memahami sisi perkhilafan.
3. Ahli Tasouf , lebih terkesan aneh tapi penuh cinta dan tak mudah menyalahkan, serta lebih sering bercerita tentang hati, hati dan hati, seolah-olah mereka tak faham syari'at , padahal mereka sudah sangat ahli di syari'at.
4. Para penyeru dan pengajak kepada kebaikan dan melaksanakan kewajiban, lebih terlihat sangat biasa, bahkan kelihatan hanya bermodalkan semangat saja. Seperti tukang azan, dan pengajak-pengajak lainnya. Ayooo... Ayooo... Sholat , sholat. Dll.
Ke 4 ini menempuh bidangnya dan keahliannya masing-masing.
Jika mengerjakan yg bukan keahlian kita maka disitulah letak kehancurannya.
Pura-pura ahli Tauhid.
Pura-pura Ahli Fiqih
Pura-pura Ahli Tasouf .
Semua yg didasari kepura-puraan akan hancur.
____
Huta holbung
Jum'at 28 Oktober 2022.
Kamis, 27 Oktober 2022
Klasifikasi Sifat Allah
Klasifikasi Sifat Allah
Di antara kesalahpahaman para pengkritik Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah) adalah mengatakan bahwa sifat Allah dibatasi oleh Asy'ariyah menjadi hanya tujuh atau dua puluh. Kritik ini menunjukkan bahwa para pengkritik itu tidak membaca satupun kitab Asya'irah atau membaca tapi tidak paham sedikit pun namun sudah berani mengkritik mazhab akidah jumhur ulama terkemuka dari kalangan para Ahli hadis, ahli fikih, ahli tafsir, dan seabrek ilmu lainnya tersebut.
Faktanya tidak ada satupun ulama Asy'ariyah yang membatasi jumlah sifat Allah, tidak ada satu pun. Yang ada, karena mereka adalah tokoh intelektual maka mereka melakukan kerja intelektual dengan mengklasifikasi sifat-sifat Allah yang sangat banyak itu (yang jumlahnya hanya Allah yang tahu) menjadi beberapa klasifikasi sebagai berikut:
A. Dari segi sumber penetapannya, sifat Allah dibagi menjadi dua kategori:
1. Sifat yang dapat diketahui dari rasio murni (sifat 'aqliyah)
2. Sifat yang dapat diketahui hanya dari keterangan/kabar dari al-Qur’an dan hadis (sifat Khabariyah)
B. Dari segi rasio (aqli), sifat Allah dibagi menjadi tiga kategori, yakni:
1. Sifat yang secara rasional disimpulkan pasti dimiliki Tuhan (sifat wajib)
2. Sifat yang secara rasional disimpulkan pasti tidak mungkin dimiliki Tuhan (sifat mustahil)
3. Sifat yang secara rasional disimpulkan bisa saja dimiliki Tuhan dan bisa juga tidak (sifat jaiz). Sifat jaiz ini ditetapkan keberadaannya apabila dikabarkan oleh nash yang sahih.
C. Dari segi kejelasannya dalam teks al-Qur’an dan hadis, sifat Khabariyah dibagi menjadi dua, yakni:
1. Sifat yang jelas maknanya (muhkamat)
2. Sifat yang belum jelas maknanya (mutasyabihat)
C. Dari segi hubungannya dengan Dzat Allah, sifat Allah dibagi menjadi dua, yakni
1. Sifat yang selalu melekat pada Dzat Allah (sifat Dzatiyah)
2. Sifat yang dilakukan oleh Allah tapi kejadiannya melekat pada makhluk (sifat fi'liyah)
Jadi, apakah sifat itu dibatasi? Jelas tidak. Yang benar adalah diklasifikasi alias dikategorikan dalam beberapa kategori ilmiah agar pelajar mudah memahaminya. Namanya kategori ilmiah tentu merupakan kerja ilmiah para ulama selaku pewaris Nabi, bukan diberikan oleh Nabi secara langsung. Sama seperti amal shalat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad kemudian oleh para ulama dibagi menjadi syarat, rukun dan sunnah. Hadis Nabi Muhammad pun juga dibagi oleh para ulama menjadi hadis shahih, hasan dan dhaif. Demikian juga seluruh pembahasan telah dikategorikan dan dipetakan dalam beberapa kategori ilmiah.
Pertanyaan dan keheranan dalam gambar SS yang saya lampirkan ini sama dengan kasus ketika imam Bukhari menghimpun hadis yang shahih saja dalam kitabnya lalu disangka bahwa Imam Bukhari membuang hadis hasan dan hadis dhaif dari kategori hadis. Sama juga dengan ketika ulama menjelaskan bahwa bacaan yang wajib dalam shalat adalah takbiratul ihram, fatihah, tahiyat dan salam, lalu disimpulkan bahwa bacaan lain dibuang dan tidak diakui. Keheranan semacam ini hanya muncul dari orang yang belum tahu apa-apa tentang klasifikasi ilmiah dalam masalah yang dibahas.
Jumat, 14 Oktober 2022
Pedagang yang Bertaubat Berkat Istrinya
Pedagang yang Bertaubat Berkat Istrinya
Al Imam Hasan Al-Bashri Ra berkata : “Aku mendatangi seorang pedagang kain di kota Mekkah untuk membeli baju, aku lihat si pedagang mulai memuji-muji barang dagangannya dan suka sekali bersumpah. Aku pun meninggalkannya dan berkata di dalam hati, "Tidaklah layak membeli dari orang macam itu." Lalu aku pun membeli baju dari pedagang lain.
.
2 tahun berlalu, aku pergi lagi ke kota Mekkah untuk berhaji dan aku bertemu lagi dengan pedagang itu. Tetapi, aku tidak lagi mendengarnya memuji-muji barang dagangannya dan dia tidak lagi suka bersumpah.
Aku pun penasaran Lalu bertanya kepadanya :
.
“Bukankah engkau adalah orang yang 2 tahun lalu pernah berjumpa denganku?”
.
Setelah mengingat pedagang itupun berkata :
“Iya, benar."
.
Aku bertanya lagi : “Apa yang membuatmu berubah seperti sekarang ini? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji barang daganganmu dan kamu tidak lagi bersumpah”.
.
Pedagang itu pun bercerita :
“Dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rizqi, ia meremehkannya dan jika aku datang dengan rizqi yang banyak ia menganggapnya sedikit. Lalu Allah mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita, yang Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata :
.
“Wahai suamiku.. bertaqwalah kepada Allah! janganlah sekali-sekali engkau beri makan aku kecuali dengan yang thayyib (halal). Jika engkau datang dengan sedikit rezeqi, aku akan menganggapnya banyak, dan jika kau tidak mendapatkan apa-apa, maka aku akan membantumu memintal kain.”
.
Hikmah :
1. Milikilah sifat Qana’ah (bersedia menerima) atau jiwa yang selalu merasa cukup.
2. Janganlah menjadi jurang dosa bagi suamimu. Wanita salihah akan mendorong suaminya kepada kebaikan, sedangkan wanita kufur akan menjadi pendorong bagi suaminya untuk berbuat dosa.
3. Ukuran rizki itu terletak pada keberkahannya, bukan pada jumlahnya.
.
[Kitab al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilm (5/252) karya Abu Bakr Ahmad Bin Marwan bin Muhammad ad-Dainuri al-Qodhi al-Maliki]
Kitab-kitab dalam Mazhab Syafi’i
Kitab-kitab dalam Mazhab Syafi’i
Abu Bakar bin Hidayatullah al-Maryuwany al-Kuraany, salah seorang fuqaha mutaakhiruun Syafi’iyah, pernah menetap di Madinah. Kemudian beliau berpulang kerahmatullah di Kurdistaniyah Iran pada tahun 1014 H/1605 M.[1] Dalam kitab yang berjudul Thabaqaat al-Syafi’iyah, beliau menyebut nama-nama kitab Mazhab Syafi’i yang dimulai dengan karya Imam Syafi’i, sebagai berikut :
1. Al-Amali, Majma’ al-Kafi, ‘Uyun al-Masail dan al-Bahr al-Muhidh. Ini merupakan kitab qaul qadim Syafi’i.
2. Al-Um, al-Imla’, al-Mukhtasaraat, al-Risalah dan al-Jami’ al-Kabir. Ini merupakan kitab qaul jadid Syafi’i
3. Al-Ikhtishar, karya al-Muzani
4. Qiyam al-Lail dan Kitab Ta’dhim al-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Murwazy
5. Al-Furuq dan al-Wada-i’ al-‘Ain wa al-Din, karya Ibnu Suraij
6. Tazkirah al-‘Alim wa al-Muta’alim, karya Abu Hafash Umar bin al-Imam Ibnu Suraij
7. Al-Musafir dan al-Mask, karya Manshur al-Tamimy
8. Al-Asyraf, al-Ijmak dan al-Iqna’, karya Ibnu Munzir
9. Adab al-Qadha, karya al-Ishthakhry
10. Al-Talkhish, al-Miftah, Adab al-Qadha dan Dalail al-Qiblat, karya Ibn al-Qash
11. Syarh al-Mukhtashar dan al-Tawasuth, karya Abu Ishaq al-Murwazy
12. Furu’ al-Muwalladaat, karya Ibnu al-Hadad
13. Al-Ta’liq al-Kabir ‘ala al-Kutub al-Muzani dan Al-Ta’liq al-Shaghir ‘ala al-Kutub al-Muzani, karya Ibnu Abi Hurairah
14. Syarh al-Risalah, karya Abu Walid al-Naisabury
15. Al-Ifshah, karya Abi Ali al-Thabari
16. Al-Khishal, karya Abu Bakar al-Khafaf
17. Furu’ al-Mazhab, karya Ibnu Qathan
18. Adab al-Qadha, karya al-Qufal al-Kabir al-Syasyi
19. Mahasin al-Syari’at, karya Abu Bakar al-Syasyi
20. Jam’u al-Jawami’, karya Ibnu al-’Ifris
21. Syarh al-Talkhish, karya Abu Abdullah al-Khatn
22. Syarh Maa Laa Yasi’u al-Mukallaf Jahluhu, karya Ibnu Laal
23. Al-Tahzib, Abu Ali al-Zujajy
24. Al-Lathif, karya Ibnu Khairan al-Shaghir
25. Al-Fatawa, karya Abu Abdullah al-Hanathy
26. Al-Taqrib, Qasim bin al-Qufal
27. Tsalatsun Tashanif fi al-Faraidh, karya Ibnu al-Laban
28. Syu’b al-Iman, karya al-Hulaimy
29. Ta’liqah ‘ala al-Mughtashar, karya Abu Hamid al-Isfirayainy
30. Al-Kifayah, Syarh al-Kifayah, al-Idhah, al-Tsaqalain dan al-Syuhud, karya al-Shimary
31. Al-Jily dan Syarah Faraidh al-Mukhtashar, karya Ibnu Saraaqah
32. Al-Majmu’, Tajrid al-Adallah, al-Qaulaini wa al-Wajhaini, al-Muqna’, Ru-us al-Masail, dan ‘Iddah al-Musafir, karya al-Muhamily
33. Syarh al-Talkhis dan Syarh Furu’ Ibnu al-Hadad, karya al-Qufal al-Shaghir
34. Al-Ta’liqah yang dinamakan dengan al-Jaami’ dan al-Dzakhirah, Karya al-Bandaniji
35. Kitab fi al-Faraidh, Kitab fi Qadhaya wa al-Washaya dan al-Qadriyaat, karya Ustazd Abu Manshur al-Baghdadi
36. Al-Talkhish dan Syarh al-Furu’, karya Abu Ali al-Sinji
37. Al-Furu’, al-Silsilah, al-Mukhtashar, al-Tabashurah dan al-Waswasah, karya Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini
38. Al-Hail wa al-Kasyaf, karya Abu Hatim al-Quzwaini
39. Al-Mujarrad, Ru-us al-Masail, al-Kaafi dan al-Isyarah, karya Salim al-Razi
40. Al-Istizkar, al-Jami’ al-Jawami’, Mudi’ al-Badi’, karya al-Darimy
41. Ta’liqah Katsirah al-Istidlal dan Syarh al-Furu’, karya Qadhi Abu al-Thaib
42. Syarh al-‘Aibiyah, karya salah seorang murid dari Qadhi Abu al-Thaib
43. Al-Hawi al-Kabir, al-Ahkam al-Sulthaniyah dan al-Iqna’, karya al-Mawardi
44. Syarah al-Furu’, dan Ta’liq ‘ala Mukhtashar al-Muzani, karya Abu Bakar al-Shaidalany
45. Al-Mutharihaat, karya Abu Abdullah bin al-Qathan (bukan Ibnu al-Qathan yang ma’ruf)
46. Adab al-Qadha, al-Ziyadaat, Ziyadat al-Ziyadaat dan Thabaqaat al-Fuqaha, karya Abu al-‘Ashim al-‘Ubady
47. Al-Ibanah, dan al-Umdah, karya al-Furany
48. Ta’liqaani al-Kabir wa al-Shaghir, Asrar al-Fiqh, al-Fatawa, Syarh ‘ala al-Furu’, Qath’ah min al-Syarh ‘ala al-Talkhis, karya Qadhi al-Husain
49. Syarh Miftah Ibnu al-Qash, karya Abu Khalaf al-Thabary
50. Al-Tazakurah wa al-Tarajum, karya Qadhi al-Baidhawi (pengarang Anwar al-Tanzil)
51. Al-Muhazzab, al-Tanbih, Tazakurah al-Musnawi dan Nukt al-Funun, karya Abu Ishaq al-Syairazi. Al-Muhazzab ini di ringkas dari Ta’liq gurunya, Qadhi Abu al-Thaib dan sedangkan al-Tanbih diringkas dari Ta’liq Syaikh Abu al-Hamid.
52. Al-Syamil, al-Thariq al-Salim dan al-Kamil, karya Ibnu al-Shibagh
53. NIhayah al-Mathlab, Mukhtashar al-Nihayah, al-Asaalib, al-Ghayaatsi, Ghayats al-Khalq fi Itba’ al-Haqq dan Risalah al-Nidhamiyah, karya Imam al-Haramain
54. Al-Tatimmah, karya al-Mutawalli
55. Al-Ma’ayaat dan Tahrir al-Ahkam, karya Abu Abbas al-Jarjany
56. Tahzib al-Adallah wa Taqrib al-Ahkam dan al-Kafii, karya Syaikh Nashr al-Muqaddisi
57. Al-Mu’tamad, karya Abu Nashr al-Bandaniji, murid Abu Ishaq al-Syairazi
58. Al-‘Iddah, karya Abu al-Makarim al-Ruyani
59. Al-Asyraf ‘ala Ghawamizh al-Hukumaat dan al-Tahzib, karya Abu Sa’ad al-Harawy
60. Al-Bahr, al-Haliyah dan al-Mubtadi, karya al-Ruyani
61. Al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz, al-Khulashah, ‘Uqud al-Mukhtashar wa Baqa-u al-Muqtashar, Fatawa Kabirah dan Shaghirah, Ihya-u al-Ulum, Fatihah al-Ulum, Bidayah al-Hidayah, Ghayah al-Nur fi Dirasah al-Dur, Ghayah al-Nur fi Ibthal al-Dur, al-Ma’khaz dan Husn al-Ma’khaz, karya al-Ghazali
62. Al-Mu’tamad, al-Haliyah, al-Targhib, ‘Umdah al-Din, al-Tashnif fi ‘Adam Wuqu’ al-Thalaq fi al-Mas-alah al-Syarihiyah, karya Abu Bakar al-Syasyi
63. Al-Tahzib, Syarh al-Sunnah, Fatawa Kabirah, karya al-Baghwi (pengarang Ma’alim al-Tanzil). Al-Tahzib ini diringkas dari Ta’liq gurunya, Qadhi Husain.
64. Al-Kafi, karya al-Khawarizmi
65. Taqrib al-Ahkam, karya al-Harawi
66. Fawaid al-Muhazzab, karya al-Fariqy
67. Al-Muhith fi Syarh al-al-Wasith, Ta’liq ‘ala al-Khilaf bainanaa wa baina Abi Hanifah, karya Muhammad bin Yahya, salah seorang murid al-Ghazali
68. Al-Dzakhair dan ‘Umdah al-Qudhaa, karya Qadhi al-Mahalli
69. Ahkam al-Hisaan, karya Abu Muslim al-Dimsyaqi, salah seorang murid al-Ghazali
70. Al-Ahkam, karya Qadhi Abu al-Futuh
71. Adab al-Qadhaa, karya al-Zinili
72. Fatawa Kabirah, karya Abu Nashr Muhammad bin Abdullah al-Arghiyani
73. Raudhah al-Ahkam wa Zinah al-Ahkam, Qadhi Syuraih al-Ruyani (anak dari paman pengarang al-Bahr)
74. Syarh al-Tanbih, karya Shain al-Diin Abdul Aziz bin Abd al-Karim al-Jili (Menurut Ibnu al-Shalah dan lainnya, isi kitab ini tidak dapat dipegang.)
75. Al-Raunaq, al-Zawaid dan al-Sual ‘amma fi al-Mazhab min al-Isykal, karya Abu Hamid al-Iraqi
76. Al-Intishab, al-Mursyid dan al-Tanbih, karya Ibnu Abi ‘Ashrun
77. Syarh al-Wajiz, karya ‘Umad bin Yunus (kakek dari pengarang al-Ta’jiz)
78. Syarh al-Tanbih, karya Syarf al-Din bin Yunus
79. Al-‘Aziz, al-Shaghir, Syarh al-Musnad, al-Muharrar, al-Taznib, al-Amali al-Syarihah dan al-Hijaz di Akhthar al-Hijaz dan al-Mahmud, karya Imam al-Rafi’i
80. Al-Raudhah, al-Manasik al-Kubra dan al-Sughra, al-Tibyan, Daqaiq al-Minhaj, Syrah Shahih Muslim, al-Azkar, Tahzib al-Asmaa wa Lughat, Tashih al-Tanbih, al-Masail al-Mantsurah, Mukhtashar al-Taznib, al-Tahqiq, al-Nukht ‘ala al-Wasith, Muhimmah al-Ahkam, al-Ushul wa al-Zhawabith, al-Isyarah ‘ala al-Raudhah wa Daqaiq al-Minhaj, karya Imam al-Nawawi
81. Al-Jami’ al-Aufaa, karya Abu al-Mudhaffar al-Sahrawardy
82. Al-Hawasyi al-Wasith, karya Ibnu al-Sakry
83. Syarh al-Wasith, karya al-Muwaffiq Hamzah bin Yusuf al-Hamawy
84. Al-Mu’tabar fi Syarh al-Mukhtashar, karya Syarwany
85. Al-Kamil, karya al-Mu’af al-Mushili
86. Al-Taujih fi Syarh al-Tanbih, karya Ibnu Muhammad bin al-Mubarrak (yang dikenal dengan Ibnu al-Khall)
87. Al-Wasail fi Furuq al-Masail dan Syarh al-Miftah, karya Abu Kharif Isma’il al-Muqdisi
88. Syarh al-Tanbih, karya Abu Thahir al-Kurkhi
89. Jami’ al-Fatawa, karya ‘Ali al-Kurkhi
90. Al-Kifayah, karya al-Jajarmy
91. Raf’ al-Tamwih ‘an Masykal al-Tanbih, karya al-Darmary
92. Al-Hadi, karya Quthb al-Din al-Naisabury
93. Tibyan al-Ahkam, karya al-Faqih Sulthan al-Muqaddisi
94. Al-Mujiz fi Syarh al-Wajiz, karya al-Zanjani
95. Syarh Masykal al-Wasith dan Adab al-Qadhaa, karya Ibnu Abi al-Dam
96. Masykal al-Wasith, al-Fatawa, Adab al-Mufti wa al-Mustafti, Fawaid al-Rihlah, Nukht Mutafarriqah ‘ala al-Mazhab, karya Ibnu al-Shalah
97. Al-Ghayah fi Ikhtishar al-Nihayah, Qawaid al-I’rab al-Kubra, al-Qawaid al-Sughraa dan al-Fatawa al-Mushiliyah, karya Ibn Abdissalam
98. Al-Hawi al-Shaghir, al-‘Ujaab dan al-Lubab, karya Syaikh Abd al-Ghafar al-Quzwainy
99. Syarh li al-Hawi al-Shaghir, karya Syaikh ‘Ulauddin Ali bin Majduddin Ismail al-Qaunawy
100.Syarh li al-Hawi al-Shaghir, karya ‘Ulauddin al-Thusy
101.Syarh li al-Hawi al-Shaghir, karya Dhiyauddin al-Thusy
102.Syarh li al-Hawi al-Shaghir, karya Muhammad al-Syarif
103.Al-Ta’jiz, karya Abd al-Rahim bin Walad ‘Imaad bin Yunus
104.Nukt al-Tanbih, karya Ibnu Abi Zhaif
105.Al-Tajrid, karya Ibnu Kajj.
106.Al-Mustadrak, karya al-Busyanji
107.Al-Jawahir, karya al-Qamuly
108.Al-Kifayah, Ibn al-Ruf’ah
109.Al-Thabaqaah al-Kubraa, al-Wusthaa dan al-Sughraa, dan al-‘Umdah. Karya al-Subky
110.Al-Tausyih, karya Ibnu al-Subky
111.Al-Muhimmaat, Muhimmat al-Muhimmaat, Khadim al-Aziz, al-Raudhah dan Thabaqaat Ashab al-Syafi’i, karya al-Asnawi
112.‘Ujalah al-Muhtaj wa Ashluhu dan Syarh ‘ala al-Tanbih, karya Ibn al-Mulaqqan
113.Tuhfah al-Minhaj dan Khawatim al-A’mal, karya al-Azra’i
114.Al-Hadi li al-Tanbih dan Baqaya al-Ahkam, karya Abu Shalih al-Siraj al-Bulqainy
115.Al-Aqliid dan al-Ashbah, karya al-Zuzany
116.Syarh lil Wajiz dan Tashnif fi al-Mas-alah al-Syarihiyah, karya Imam Fakhruddin al-Razy
117.Thabaqaat al-Ashhab dan Ahkam al-Bayan, karya al-Husain al-Thaiby (pengarang Syarh al-Misykah)
118.Al-Athbaq wal-Tazakurah, Hall al-Msykalaat, Ma’alim al-Sunan dan A’lam al-Sunan, karya Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad bin al-Khuthabi
119.Jami’ al-Ushul, Manaqib al-Akhyar dan Nihayah al-Ahkam, karya Muhammad bin Ahmad al-Jaizi
120.Syarh ‘ala al-Minhaj, karya Ibn al-Naqib
121.Tahrir al-Fatawi, Tajrid al-Bayan dan Ahkam al-Qadhaa, karya Waliuddin al-Iraqy[2]
Kitab-kitab lain dalam Mazhab Syafi’i yang tidak disebut pengarang Thabaqaat al-Syafi’iyah di atas, antara lain :
122. Majmu’ Syarh al-Muhazzab, karya Imam al-Nawawi
123.Al-Minhaj al-Thalibin, karya Imam al-Nawawi. Kitab ini disyarah oleh Jalaluddin al-Mahalli. Kemudian Syarah tersebut dibuat hasyiahnya oleh Qalyubi dan juga oleh ‘Amiirah.
124.Minhaj al-Thalibin ini juga disyarah oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dengan nama Tuhfah al-Muhtaj dengan dua hasyiahnya, masing-masing oleh al-Syarwani dan Ibnu al-Qasim al-‘Ubady.
125.Imam al-Ramli juga mensyarah kitab Minhaj al-Thalibin dengan nama Nihayah al-Muhtaj dengan dua hasyiahnya, masing-masing oleh ‘Ali Syibran al-Malusy dan Ahmad al-Maghriby al-Rasyidy.
126.Khatib Syarbaini juga mensyarah Minhaj al-Thalibin dengan nama Mughni al-Muhtaj.
127.Zakariya al-Anshari meringkas kitab Minhaj al-Thalibin dengan nama Manhaj al-Thulab. Kemudian kitab ini disyarah sendiri oleh Zakariya al-Anshary dengan nama Fath al-Wahab dengan dua hasiyiahnya, masing-masing oleh Sulaiman al-Bujairumi dan Sulaiman al-Jamal
128.Al-Tahrir, karya Zakariya al-Anshary. Kemudian dibuat hasyiahnya oleh al-Syarqawy
129.Raudh al-Thalib, karya Ibn al-Muqri dengan syarahnya oleh Zakariya al-Anshary dengan nama Asnaa al-Mathalib
130.Siraj al-Wahaj ‘ala Matn al-Minhaj, karya Muhammad al-Zuhri al-Ghumrawy
131.Muqaddimah al-Hazhramiyah, karya Abdullah Ba Fazhal al-Hazhramy. Kitab ini kemudian disyarah oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dengan nama Minhaj al-Qawim dengan hasyiahnya oleh Sulaiman al-Kurdy dengan nama al-Hawasyi al-Madiniyah.
132.Zubad, karya Ibnu Ruslan dengan syarahnya oleh Syamsuddin al-Ramli dengan nama Ghayah al-Bayan fi Syarh Zubad Ibnu Ruslan.
133.I’lam al-Sajid bi Ahkam al-Masjid, Khabaya al-Zawaayaa, karya Zarkasyi
134.Al-Fatawa al-Kubraa, al-Fatawa al-Haditsah, Fath al-Jawwad bi Syarh al-Irsyad dan Hasyiah ‘ala Syarh al-Idhah fi Manasik al-Hajj, karya Ibnu Hajar al-Haitami
135.Fatawa Imam al-Ramli
136.Al-Iqna’ fi Hall Alfazh Abi al-Syuja’, karya Khatib Syarbaini dengan hasyiahnya oleh Sulaiman al-Bujairumy
137.Fath al-Qarib (syarh dari al-Taqrib, karya Abu Syaja’), karya Ibn al-Qasim al-Ghazy. Kemudian kitab ini dibuat hasyiahnya oleh Ibrahim al-Bajury.
138.Tuhfah al-Khairiyah, karya Ibrahim al-Bajury
139.Fath al-Mu’in, karya Zainuddin al-Malibary. Kemudian dibuat hasyiahnya oleh Sayyed al-Bakri al-Dimyathi dengan nama I’anah al-Thalibin.
140.Kifayah al-Akhyar, karya Taqiyuddin al-Husaini al-Hishny
141.Bughyah al-Mustarsyidin, karya Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi
142.Atsmad al-‘Ainaini fi Ba’dh Ikhtilaf al-Syaikhaini, karya Syaikh Ali bin Ahmad bin Sa’id Abu Shabriin
143.Ghayah Talkhish al-Murad, Ibnu Ziyad
144.Safinah al-Najaa, karya Syaikh Salim bin Sumairi, dengan syarahnya oleh al-Nawawi al-Jawy dengan nama Kasyifah al-Sajaa.
Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal dalam kitab beliau, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, menyebut kitab-kitab yang merupakan syarah terhadap Minhaj al-Thalibin (salah satu kitab fiqh karya al-Nawawi yang dianggap penting dalam Mazhab Syafi’i, sehingga banyak para ulama yang hidup sesudah al-Nawawi yang mensyarahnya). Syarah-syarah tersebut antara lain :
Al-Bahr al-Mawaj ila Syarh al-Minhaj, karya Shafiuddin Ahmad bin al-‘Imad al-Aqfahasy
Al-Diibaj ila Syarh al-Minhaj, karya Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi
Tashhih al-Minhaj, karya Sirajuddin Umar bin Ruslan al-Bulqainy
Dar al-Taj fi I’rab Masykal al-Minhaj, karya al-Suyuthi
Al-Bahr al-Mawaj, karya Muhammad bin Fakhruddin al-Abar al-Maaridiny
Al-Najm al-Wahaj ila Syarh al-Minhaj, karya Jamaluddin Muhammad bin Musa al-Damiry
Syarh al-Minhaj, karya Taqiyuddin Abu Bakar bin Ahmad bin Syahbah
Badayah al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Syahbah al-Asaady
Irsyad al-Mihtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Syahbah al-Asaady
Hadi al-Raghibin ila Syarh Minhaj al-Thalibin, karya Muhammad bin Abdullah bin Qadhi ‘Ajilun
Tuhfah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Hajar al-Haitamy
Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Muhammad bin Ahmad al-Ramly
Mughni al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Khatib Syarbainy
Syarh al-Minhaj, karya Jalaluddin al-Mahally
Syarh al-Minhaj, karya Ahmad bin Hamdan al-Azra’i
Al-Ibtihaj ila Syarh al-Minhaj, karya Taqiyuddin al-Subky
Syarh al-Minhaj, karya al-Asnawy
Syarh al-Minhaj, karya Farj bin Muhammad al-Ardibily
Syarh al-Minhaj, karya Zakariya al-Anshary
I’anah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Sayyed Muhammad bin Ahmad Abd al-Barry al-Ahdal
Dan lain-lain[3]
Al-Suyuthi salah seorang ulama Syafi’iyah abad ke X H, untuk memudah kaum muslimin menghafal kitab al-Minhaj, beliau telah membuat isi al-Minhaj dalam bentuk nadham dengan nama al-Ibtihaj ila Nadham al-Minhaj.[4]
[1] ‘Adil Nawaihizh, Muqaddimah Muhaqqiq atas kitab Thabaqaat al-Syafi’iyah (karya Abu Bakar bin Hidayatullah al-Maryuwany al-Kuraany), Dar al-Afaq al-Jadidiyah, Beirut, Hal. 6
[2] Abu Bakar bin Hidayatullah al-Maryuwany al-Kuraany, Thabaqaat al-Syafi’iyah, Dar al-Afaq al-Jadidiyah, Beirut, Hal. 245-251
[3] Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 24-28
[4] Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 21-23
Catatan
Karena keterbatasan referensi kami, nama-nama kitab fiqh dalam Mazhab Syafi’i di atas kami sadari belumlah lengkap atau mungkin saja terjadi kesalahan dalam menyebut namanya. Karena itu,kami mohon jika ada kekurangan atau salah dalam penyebutannya bisa dikoreksi atau ditambahi.
وﷲ أعلم. فجزاكم الله خيرا
Minggu, 31 Juli 2022
Menempelkan Dahi di Kuburan Syirik?
Menempelkan dahi di kuburan syirik?
Suatu hari, Marwan melihat seorang lelaki menempelkan dahinya di kuburan. Marwan mengambil tengkuk (leher belakang) lelaki tersebut dan berkata, "Apa kamu tahu apa yang sedang kamu perbuat ini?"
Lelaki itu menjawab, "Ya" sambil menghadap ke arah Marwan.
Ternyata lelaki itu adalah Abu Ayub Al Anshari RA. Ia berkata, "Saya sedang mendatangi Rasulullah SAW, bukan mendatangi batu (kuburan). Saya pernah mendengar beliau bersabda: Jangan kamu tangisi agama ini selama masih ditangani oleh ahlinya, tapi tangisilah agama ini kalau sudah ditangani oleh yang bukan ahlinya."
HR. Al Hakim: sanadnya shahih.
Senin, 25 Juli 2022
BENARKAH SHOLAWAT NARIYAH MENJURUS PADA KESYIRIKAN?
BENARKAH SHOLAWAT NARIYAH MENJURUS PADA KESYIRIKAN?
Lucu juga penulis tulisan dalam website Muhammadiyah yang saya screenshot ini!
Dia menyebut bahwa sholawat Nariyah dapat menjurus pada kesyirikan hanya gara-gara ada redaksi bahwa NABI MUHAMMAD ADALAH SEBAB atas terbukanya kesulitan dan terkabulnya hajat-hajat.
Sepertinya, penulis masih kaku dalam memahami teks-teks Arab, atau memang dia tidak paham bahasa Arab, sehingga dia salah paham pada maksudnya. Seakan-akan, sholawat Nariyah itu berisi keterangan bahwa BUKAN ALLAH yang membuka kesulitan dan BUKAN ALLAH yang mengabulkan permohonan, tapi RASULULLAH SAW. Itu kesimpulan yang sangat gegabah!
Padahal, jelas-jelas teks dalam sholawat Nariyah menggunakan wazan انفعل yang berfaedah memiliki makna MENJADI.
Jadi, disana itu ada 3 :
1. Pelaku yang menjadikan
2. Sebab
3. Objek yang dijadikan
Lebih mudahnya saya contohkan dalam bahasa Indonesia:
👉 UDIN MENJADI KENYANG SEBAB MAKAN
Siapa yang sebenarnya menjadikan Udin kenyang?
👉 Allah
Sebab apa Udin kenyang?
👉 Sebab makan
Apa objek yang dibuat kenyang?
👉 Perut Udin 😁
Perhatikan!
تنحل به العقد
"Ikatan-ikatan MENJADI TERURAI SEBAB DIA"
تنفرج به الكرب
"Kesulitan-kesulitan MENJADI HILANG SEBAB DIA"
Pertanyaan saya:
Jika Nabi menjadi SEBAB TERURAINYA ikatan-ikatan, maka siapa yang MENJADIKAN TERURAI? Pastinya, ya Allah!
Jika Nabi menjadi SEBAB HILANGNYA KESULITAN-KESULITAN, maka siapa yang MENGHILANGKAN KESULITAN? Pastinya, ya Allah!
Bahkan, ada redaksi mabni majhul dalam sholawat Nariyah, yaitu:
وتقضى به الحوائج
"Dan SEBAB DIA maka hajat-hajat DIKABULKAN"
Siapa yang mengabulkan?
Siapa lagi kalau bukan Allah?
وتنال به الرغائب
"Dan SEBAB DIA maka segala CITA-CITA DICAPAI"
Siapa yang membuat cita-cita tercapai?
Siapa lagi kalau bukan Allah?
Nabi Muhammad hanya menjadi sebab, bukan pelaku.
Apakah penulis itu tidak pernah membaca Al Qur'an:
فذوقوا العذاب بما كنتم تكفرون
"Rasakanlah siksa SEBAB perbuatan kafir kalian"
Jadi, perbuatan kafir saja dapat menjadi SEBAB seseorang disiksa. Apakah penulis tersebut mau menuduh ayat ini menjurus pada kesyirikan karena menyebut bahwa PERBUATAN KAFIR adalah SEBAB adanya siksa, bukan ALLAH?
Bahkan ada ayat yang isinya "Double Kill" terhadap pikiran penulis tersebut, yaitu ayat:
انما استزلهم الشيطان ببعض ما كسبوا
"Hanya saja SETAN MENTERGELINCIRKAN mereka SEBAB sebagian apa yang mereka lakukan"
Dalam ayat itu jelas tertulis dua kesimpulan:
1. SETAN MENTERGELINCIRKAN
2. Perbuatan salah menjadi SEBAB terjadinya SETAN MENTERGELINCIRKAN
Apakah penulis tersebut mau menuduh ayat itu akan menjurus pada kesyirikan karena meyakini bahwa TIDAK ADA YANG MENTERGELINCIRKAN siapapun kecuali hanya Allah?
Bahkan, seandainya pun Nabi Muhammad disebut sebagai pelaku, seperti: Al Qasim (Sang Pembagi), As Syaafi' (Sang Pemberi Syafaat), maka juga tidak masalah sebagaimana Nabi Muhammad didalam Al Qur'an juga seringkali disebut sebagai:
البشير
"Pemberi kabar baik"
النذير
"Pemberi kabar buruk"
Apakah penulis itu mau protes, "Oh, ini menjurus pada kesyirikan karena Al Basyir dan An Nadzir (Pemberi kabar baik dan Pemberi kabar buruk ) hanyalah Allah. Padahal, Allah sendiri yang menyebut didalam Al Qur'an:
إنا أرسلناك بالحق بشيرا ونذيرا
"Sesungguhnya kami mengutus kamu (Hai, Muhammad) secara benar sebagai BASYIR dan NADZIR"
Apakah dia berani menyebut bahwa ayat ini menjurus pada kesyirikan?
Dan, sebenarnya hal seperti ini sudah biasa dalam bahasa Arab, misalnya:
Muhammad Al Faatih (Sang Pembuka)
Apakah penulis juga berpikir bahwa julukan itu menjurus pada kesyirikan karena hanya Allah Al Faatih, bukan yang lain?
Wallahu a'lam...
FB: Saiful Anwar
Jumat, 22 Juli 2022
DALIL MENCIUM TANGAN ULAMA'
DALIL MENCIUM TANGAN ULAMA'
1- Hadits Sahabat Ka'b bin Malik mencium dua tangan dan dua kaki Nabi setelah diterima taubatnya. Referensi : Fatawa Fiqhiyyah Al Kubro karya Ibnu Hajar Al Haitami.
وَرَوَى ابْنُ حِبَّانَ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْهُ - قَالَ «لَمَّا نَزَلَتْ تَوْبَتِي أَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَبَّلْت يَدَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ» [ابن حجر الهيتمي، الفتاوى الفقهية الكبرى، ٢٤٧/٤]
2- Hadits dua orang Yahudi mencium tangan dan kaki Nabi. Status hadits dalam penilaian Imam Tirmidzi : Hasan Sahih. Referensi : Tuhfatul Ahwadzi karya Al Mubarakfuri, Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani dan Fatawa Fiqhiyyah Al Kubro karya Ibnu Hajar Al Haitami.
قال بن بَطَّالٍ وَذَكَرَ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ أَنَّ يَهُودِيَّيْنِ أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَاهُ عَنْ تِسْعِ آيَاتٍ الْحَدِيثَ. وَفِي آخِرِهِ فَقَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ حسن صحيح [عبد الرحمن المباركفوري، تحفة الأحوذي، ٤٣٧/٧]
وَفِي آخِرِهِ فَقَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ قَالَ التِّرْمِذِيُّ حسن صَحِيح [ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ٥٧/١١]
وَالْحَقُّ أَنَّهُ سُنَّةٌ كَمَا قَدَّمْنَاهُ لَمَّا رَوَى التِّرْمِذِيُّ أَنَّ «الْيَهُودِيَّيْنِ اللَّذَيْنِ سَأَلَا النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ التِّسْعِ الْآيَاتِ فَأَجَابَهُمْ قَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمَا» [ابن حجر الهيتمي، الفتاوى الفقهية الكبرى، ٢٤٧/٤]
3- Hadits Buraidah tentang kisah A'robi yang meminta izin pada Nabi untuk mencium kepala dan dua kaki beliau, dan beliau shalallahu'alaihi wasallam memberi izin. Referensi : Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani.
وَمِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ فِي قِصَّةِ الْأَعْرَابِيِّ وَالشَّجَرَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي أَنْ أُقَبِّلَ رَأَسَكَ وَرِجْلَيْكَ فَأَذِنَ لَهُ
[ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ٥٧/١١]
4- Hadits Ummu Aban yang menceritakan delegasi Abdil-Qais yang mencium tangan dan kaki Nabi. HR. Abu Dawud, Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menilai sanadnya bagus.
عن أُمّ أَبَانَ بِنْتِ الْوَازِعِ بْنِ زَارِعٍ عَنْ جَدِّهَا زَارِعٍ - وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ - قَالَ : لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، وَرِجْلَهُ . رواه أبو داود (5227) ، وجوَّد الحافظ ابن حجر إسناده في "فتح الباري" (11/57)
5- Sayyidina Ali Krw. mencium tangan dan kaki Sayyidina Abbas, paman beliau, dan mengatakan "paman, ridhoilah aku.." Referensi : Fatawa Fiqhiyyah Al Kubro karya Ibnu Hajar Al Haitami.
وَفِي بَعْضِهَا أَنَّ عَلِيًّا كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ قَبَّلَ يَدَ الْعَبَّاسِ وَرِجْلَهُ وَيَقُولُ أَيْ عَمِّ ارْضَ عَنِّي. [ابن حجر الهيتمي، الفتاوى الفقهية الكبرى، ٢٤٧/٤]
Jika ada yang menyatakan itu khususyiyyah Nabi atau hanya sahabat yang boleh, maka mereka wajib mendatangkan dalilnya. Karena al-ashlu dalam hukum adalah 'aam; umum, mencakup semuanya, selama tidak ada dalil yang menyatakan itu kekhususan Nabi shalallahu alaihi wasallam. Dan dalam hal ini tidak ada dalil khususyiyyahnya. Maka klaim khususyiyyah tersebut tidak berlaku.
Semoga bermanfaat. Wallahu ta'ala a'la wa a'lam..
#Fikih_Keseharian
Kamis, 14 Juli 2022
Hukum Ilzaq - Menempelkan Jari Kaki saat Sholat Berjamaah
Hukum Ilzaq - Menempelkan Jari Kaki Saat Sholat Berjamaah
Hukum Ilzaq - Menempelkan Jari Kaki, Mata Kaki, Telapak Kaki, Saat Sholat Berjamaah.
Merapatkan, meluruskan, dan merapikan barisan (shaf) dalam shalat berjamaah diperintahkan Rasulullah Saw.
Namun, apakah harus dengan menempelkan mata kaki atau jari kaki dengan orang lain yang ada di sisi kiri dan kanan?
Menempelkan mata kaki atau jari kaki disebut ilzaq.
Ilzaq adalah anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki.
• Apakah menempelkan kaki dengan kaki temannya dilakukan oleh Nabi Muhammad ?
• Apakah hal tersebut diperintahkan oleh Nabi Muhammad ?
• Apakah hal tersebut dipraktekkan oleh Sahabat Utama ?
Jawabannya: Tidak.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Mengabarkan kepada kami 'Amr bin Kholid berkata, mengabarkan kepada kami Zuhair dari Humaid dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada salah seorang di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya. (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: ” أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ ” قَالَ: ” فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam menghadap kepada manusia, lalu berkata : "Tegakkanlah shaf kalian!", tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, lutut dengan lutut dan bahu dengan bahu. (HR. Bukhori).
Bagaimana sih perintah Nabi Muhammad Saw ketika itu ? Beliau bersabda :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
"Tegakkanlah shof / barisan kalian!"
Jadi, beliau tidak memerintahkan untuk menempelkan kaki, tapi beliau memerintahkan untuk menegakkan shof dalam artian merapikan, meluruskan, dan merapatkan shof.
Bukan memerintahkan untuk menempelkan kaki dengan kaki temannya.
Lalu, siapa yang menempelkan kaki ketika itu ? Berapa jumlahnya ?
Baca lagi hadits di atas.
Anas bin Malik mengatakan [وَكَانَ أَحَدُنَا] = salah satu diantara kami.
Nu'man bin Basyir``` mengatakan : [رَأَيْتُ الرَّجُلَ] = Saya melihat seorang laki-laki dari kami.
Jadi, dari sekian banyak sahabat yang ikut sholat berjamaah bersama dengan Nabi Saw, semua sholatnya wajar.
Ada orang yang menempelkan kaki dengan kaki temannya dan jumlahnya hanya satu orang.
Perbuatan satu orang sahabat, apalagi tidak ada yang mengenalnya, tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).
Al-Amidi (w. 631 H), salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan sahabat dapat menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua sahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Lihat : Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99).
Sekali lagi, kalau "injak-injakan kaki" hanya dilakukan satu orang sahabat, dan tidak dikenal siapa dia, serta perbuatannya menyelisihi mayoritas sahabat.
Mana buktinya bahwa sahabat yang lain tidak menempelkan kaki dengan kaki temannya ?
Lihat bagaimana kata sang periwayat hadits, yaitu Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu (menempelkan kaki) saya lakukan dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211].
Kenapa bisa begitu?
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
"Yang dilakukan sahabat tersebut adalah) berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah" [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Lalu, siapa yang pertama kali mengatakan bahwa menempelkan kaki dengan kaki itu adalah termasuk kesempurnaan sholat bahkan termasuk hal yang wajib ?
Ia adalah Ustadz Nashiruddin al-Albani.
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, lutut, bahu), hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyah, persis sebagaimana ta’thil dalam sifat Ilahiyah. Bahkan lebih jelek dari itu. (Al-Albani: Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77)
Jadi, beliau menganggap bahwa orang yang mengatakan ilzaq adalah anjuran untuk merapatkan shof, bukan menempelkan kaki, adalah pendapat yang salah, karena bagi beliau ilzaq adalah menempelkan kaki, lutut, dan bahu.
Pendapat Ustadz Al-Albani bertentangan dengan pendapat ulama salafi yang lain.
Ustadz Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata:
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shof benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. "Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat." (Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311).
Ustadz Abu Bakar Zaid (w. 1429 H / 2007 M) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi) :
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang sulit dilakukan. (La Jadida fi Ahkam as-Shalat hal. 13)
Abu Bakar Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي – رضي الله عنه – في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang difahami para shahabat dalam _taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela_ Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah *anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.*
Bahkan pendapat Ustadz Al-Albani juga bertentangan dengan pendapat Madzhab Hambali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H):
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Lihat: Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282).
Bagaimana sebenarnya cara merapatkan shof yang sempurna ?
وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق اهـ جمل.الكتاب : بغية المسترشدين ص 140
“Disebutkan bahwa ukuran lebar shof ketika hendak sholat yaitu yang umum dilakukan oleh seseorang, dengan tanpa berlebihan dalam lebar dan sempitnya.” (Bughyatul Mustarsyidin hal 140)
Umpama-pun mau menempelkan, "tempelkanlah bagian yang terluar dari tubuh kita saat berdiri,"
mana itu ?
Ya kalau berdiri normal --kalau berdiri normal lho ya-- maka bagian terluar dari tubuh kita yaitu pundak atau bahu kita, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ
”Luruskan shof, rapatkan pundak, dan tutup celah, serta perlunak pundak kalian untuk saudaranya, dan jangan tinggalkan celah untuk setan.” (HR. Abu Daud no. 666)
"Perlunak pundak kalian untuk saudaranya” maksutnya adalah hendaknya dia berusaha agar pundaknya tidak mengganggu orang lain.
KESIMPULAN
Merapatkan, meluruskan, dan merapikan shaf harus dilakukan, namun tidak harus sampai menempelkan apalagi menginjak jari kaki orang lain.
Rapatkan shaf sewajarnya, jangan ada celah terlalu lebar.
Menempelkan mata kali/telapak kaki, bisa mengurangi kekhusyu'an shalat karena "sibuk" merapatkan jari kaki tiap kali berdiri.
Demikian Hukum Ilzaq - Menempelkan Jari Kaki/Mata Kaki dalam Shalat Berjamaah.
Senin, 27 Juni 2022
Macam-macam Tidur dalam Pandangan Agama, Manfaat dan Resikonya
NGAJI BAB TIDUR 🙂🙏
النوم خمسة انواع العيلولة وهو النوم بعد الفجر يورث الغفلةوالغيلولة وهو النوم وقت الضحى يورث الفقر والقيلولة وهو النوم وقت الاستواء يورث الغنى والكيلولة وهو النوم بعد العصر يورث الجنون والفيلولة وهو النوم بعد المغريب يورث الفتنة
Tidur dibagi 5 macam:
1. ‘Ailulah yaitu tidur setelah fajar, bisa menyebabkan lupa.
2. Ghoilulah yaitu tidur di waktu dhuha, bisa menyebabkan faqir.
3. Qoilulah yaitu tidur di waktu istiwa’ (tidur siang), menyebabkan kaya.
4. Kailulah yaitu tidur setelah ‘ashar, bisa menyebabkan gila.
5. Failulah yaitu tidur setelah maghrib, menyebabkan fitnah, sebagian ulama mengatakan daya tubuh lemah dan mudah sakit.
Hal ini senada yg tertera dalam kitab Tuhfatul Habib Syarah Khotib:
وفي تذكرة الجلال السيوطي النوم في أول النهار عيلولة وهو الفقر وعند الضحى فيلولة وهو الفتور وحين الزوال قيلولة وهي الزيادة في العقل وبعد الزوال حيلولة أي يحيل بينه وبين الصلاة وفي آخر النهار غيلولة أي يورث الهلاك
Disebutkan dalam kitab Tadzkirah karya Imama Jalaluddin As-suyuthi:
~ Tidur di permulaan siang (pagi hari) disebut ‘ailulah menyebabkan kefakiran.
~ Tidur di waktu dluha disebut failulah, (menyebabkan) kelemahan/lesu pada badan.
~ Tidur ketika tergelincir matahari (zawal) disebut qoilulah, dapat menambah (kecerdasan) akal.
~ Tidur setelah zawal disebut hailulah, yakni dapat menghalangi antara orang itu dan sholat.
~ Dan tidur di akhir siang (sore hari) disebut ghoilulah, dapat menyebabkan binasa.
Penjelasan lebih detailnya disebutkan dalam Kitab syarah mandumatul adab (2/355) karya syeh muhammad bin ahmad as safarini:
مطلب : في كراهة النوم بعد الفجر والعصر : ونومك بعد الفجر والعصر أو على قفاك ورفع الرجل فوق أختها امدد ( و ) يكره ( نومك ) أيها المكلف ( بعد ) صلاة ( الفجر ) لأنها ساعة تقسم فيها الأرزاق فلا ينبغي النوم فيها ، فإن ابن عباس رضي الله عنهما رأى ابنا له نائما نومة الصبحة فقال له : قم أتنام في الساعة التي تقسم فيها الأرزاق .
وعن بعض التابعين أن الأرض تعج من نوم العالم بعد صلاة الفجر ، وذلك لأنه وقت طلب الرزق والسعي فيه شرعا وعرفا عند العقلاء . وفي الحديث { اللهم بارك لأمتي في بكورها } .
وفي غريب أبي عبيد قال : وفي حديث عمر رضي الله عنه { إياك ونومة الغداة فإنها مبخرة مجفرة مجعرة } قال : ومعنى مبخرة تزيد في البخار وتغلظه . ومجفرة قاطعة للنكاح . ومجعرة ميبسة للطبيعة ” .
> Tidur setelah subuh hukumnya makruh karena waktu tersebut adalah saat dibagikannya rizki, maka tdk baik tidur waktu itu.
> Ibnu abbas pernah melihat seorang anaknya yg tidur setelah subuh. Beliau berkata: Bangunkan, apakah engkau tidur di saat rizki dibagikan.
> Dari sebagian tabi’in bahwa sesungguhnya bumi berteriak karena tidurnya orang alim setelah sholat subuh, hal itu disebabkan waktu tersebut adalah waktu untuk mencari rizki.
> Dalam hadits Nabi: Yaa Allah berkahilah ummatku di waktu paginya.
> Dalam haditsnya Sayyidina Umar: Berhati-hatilah kalian dari tidur di waktu pagi, karena bisa menyebabkan banyaknya uap yg menutupi otak, memutuskan pernikahan dan mengkeringkan tabi’at.
Semoga bermanfaat 🙂🙏
Gus Dewa Menjawab
32 ULAMA NUSANTARA YANG DIMAKAMKAN DI JANNATUL MA'LA, MAKKAH
"32 ULAMA NUSANTARA YANG DIMAKAMKAN DI JANNATUL MA'LA, MAKKAH"
1. Syeikh Ahmad Khatib As-Sambasy, Kalimantan Barat, Guru kepada KH. Hasyim Ashaari (w. Safar 1217 H / 1802 M)
2. Maulana Syeikh Ismail al-Minankabawi, penyebar al-Khalidiyah pertama (w. 1280 H / 1863 H)
3 Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani (w. 25 Syawal 1314 H/29 Maret 1879 M)
4. Syaikh Ahmad Khatib al-Minkabawi (w. 19 Jumadil Awwal 1334 H/13 Maret 1916 M)
5. Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (w. 1 Rajab 1338 H/22 Maret 1920 M)
6. Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi (w. 9 Rajab 1334 H/12 Mei 1915 M)
7. Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1926 M)
8. Syaikh Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawa (w. 10 Jumadis Tsani 1354 H/28 September 1935 M)
9. Syeikh Nuh Jamaluddin al-Kelantani (w. 21 Rejab 1367 Hijrah bersamaan 29 Mei 1948 M)
10. Syeikh Othman Jalaluddin, anak murid tok kenali (1371H / 1952 Masihi)
11. Syaikh Abdul Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi (w. 1376 H/1956 M)
12. Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari (w. 1370 H/1950 M)
13. Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili (w. 20 Rabi'ul Akhir 1385 H/18 Agustus 1965 M)
14. Syeikh Wan Ismail bin Wan Abdul Qadir - Pak Da Eil Mekkah (w. 9 Rejab 1385 H / 3 November 1965 M)
15. KH. Abdul Karim bin KH. M. Hasyim Asy'ari (w. 1972 M)
16. Syaikh KH. Muslih Abdurrahman Mranggen Demak (w. 1908 M / 1981 M)
17. Asy-Syaikh Muhammad Salih Tok Kenali, anak Tok Kenali (w. Jumaat 22 Ramadan 1404 H/22 Jun 1984 M)
18. Syaikh Abdullah Durdum al-Padani (w. 27 Sya'ban 1407 H/27 April 1987 M)
19. Syeikh Abdul Rahim al-Kalantani (w. 1410H / 1990 Masihi)
20. Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Padani (w. 28 Dzulhijjah 1410 H/23 Juli 1990 M)
21. Al 'Alim Al Arif Billah Asy Syeikh TGH. Muhsinin bin Abdussatar Kediri Lobar, (w. 27 Jumadil Awwal 1418 H/30 September 1997 M)
22. KH. Abdul Malik, Putra dari KH Mufti bin Haji Salim PP.Babakan Tegal (w. tahun 2000 M)
23. Syaikh Abdul Fattah Rawa (w. 1424 H/2003 M)
24. Tuan Guru Haji Sabran Asmawi, Bagan Serai, Malaysia (w. Isnin 11 Zulhijjah 1427 H / 1 Januari 2007 M)
25. Syeikh abdullah zawawi, 86 Tahun (anak paling bongsu tok kenali), meninggal pada tahun (w. 1432 Hijrah / 2011 Masihi)
26. KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin, Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Ahmadiyah, Situbondo (w. Jumaat 14 Jumadil Awwal 1433 H/6 April 2012 M)
27. KH. Ahmad Jamhuri Al-Banjari (w. 8 Rejab 1436 H / 27 April 2015)
28. KH. Maimoen Zubair (w. 5 Dzulhijjah 1440 H/6 Agustus 2019 M)
29. Mbah Nawawi bin KH. Abdul Karim, Lirboyo (tiada maklumat tarikh)
30. Habib Hamid bin Yahya, Sokaraja Banjamas, guru kepada Al-Habib Lufti Yahya (tiada maklumat tarikh)
31. Tuan Guru Haji Mahmud, wakil Syaikh Haji anak kepada Tok Kenali Kelantan (tiada maklumat tarikh)
32. Syeikh Abdullah As Sangguri, Ketua Ulama Qurra Mekah, Melayu Songgora/Songkhla (tiada maklumat tarikh)
Lahumul Fatihah untuk beliau semua... ... ...
Semoga berkat Rasulullah SAW, berkat para Wali dan berkat para Guru kita semua, mudah mudahan kita diampuni atas segala dosa, selamat di Dunia dan di Akhirat, segala hajat qobul dan terkumpul di Surga tanpa Hisab.. Aamiin🤲🤲🤲
Rabu, 25 Mei 2022
Kewajiban Memberi Nafkah untuk Istri dan Anak
Tak Bisa Memaafkan Mantan Suami
Tiba-tiba di akhir pertanyaan yang dikirim melalui kertas ada seorang ibu yang bertanya: "Saya tidak bisa memaafkan mantan suami yang menikah lagi dan tidak mau memberi nafkah untuk anaknya".
Tema kajian kali ini memang membahas meminta maaf dan memberi maaf. Tapi kalau soal ini beda lagi. Ini soal mantan suami yang menelantarkan anak dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai bapak.
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ. - رَوَاهُ النَّسَائِيُّ.
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Cukup berdosa orang yang menyia-nyiakan keluarganya dengan tidak diberi nafkah.” HR Nasa’i.
Perlu diketahui bahwa bapaklah yang berkewajiban memberi nafkah anaknya sejak lahir berdasarkan firman Allah:
ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ (فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ) ﻓﺄﻭﺟﺐ ﺃﺟﺮﺓ ﺭﺿﺎﻉ اﻟﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻻﺏ، ﻓﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻧﻔﻘﺘﻪ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ
"Jika istri-istri tersebut memberi ASI untuk kalian maka berikanlah upahnya" (QS ath-Thalaq 6). Maka Allah mewajibkan ongkos ASI untuk anak kepada bapak. Ini menunjukkan nafkah anak adalah kewajiban bapak (Al-Majmu', 18/294)
Meskipun sudah bercerai dengan istrinya kewajiban nafkah anak tetap dibebankan kepada bapaknya:
اﻟﻔﺼﻞ اﻷﻭﻝ: ﺃﻥ ﺭﺿﺎﻉ اﻟﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻷﺏ ﻭﺣﺪﻩ، ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺇﺟﺒﺎﺭ ﺃﻣﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺿﺎﻋﻪ، ﺩﻧﻴﺌﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺷﺮﻳﻔﺔ، ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﺣﺒﺎﻝ اﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ ﻣﻄﻠﻘﺔ
ﻭﻻ ﻧﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﻋﺪﻡ ﺇﺟﺒﺎﺭﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺇﺫا ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻔﺎﺭﻗﺔ ﺧﻼﻓﺎ
Pasal pertama, memberi ASI untuk anak adalah kewajiban seorang bapak. Bapaknya tidak boleh memaksa ibunya untuk memberi ASI, baik wanita biasa, bangsawan, hamil dengan suami atau dicerai. Dalam hal ini kami tidak menemukan perbedaan pendapat ulama (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 8/250).
Saya pun meminta ibu-ibu mengambil foto di layar proyektor hadis dosa suami yang menelantarkan keluarga dan dikirim agar suami menjalankan kewajibannya.
-------
KH. Ma'ruf Khozin
FB: Ma'ruf Khozin
Jumat, 06 Mei 2022
TAHUN LAHIR IMAM MADZHAB DAN IMAM HADITS | Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Tahun Lahir Imam Mazhab dan Hadits
Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih?
Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.
Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie. Ini adalah Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim.
Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dsb? Ya boleh sebagai pelengkap. Tapi jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tsb. Wong para Imam Hadits saja kan mengikuti Mazhab Syafi’ie? Tidak pakai hadits mereka sendiri?
Menurut Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh dengan rasa dengki dan benci. Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf asli.
Padahal Imam Mazhab tsb menguasai banyak hadits. Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai 750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.
Ada tulisan bagus dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, yaitu:Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Di antaranya Ustad Ahmad menulis bahwa para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam Malik wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie wafat, Imam Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru lahir. Tidak mungkin kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab Hadits yang belum ada pada zamannya?
Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena keempat imam mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.
Dalam teknologi, makin ke depan makin maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau hadits Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari zamannya, justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.
Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim malah bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Sahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.
Ada beberapa tokoh yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama mazhab khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai hadits.
Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.
Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih, pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai bodoh dalam ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. Hadits sahih secara sanad, belum tentu sahih secara matan. Meski banyak hadits yang mutawattir secara sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. Artinya susunan kalimat atau katanya sama persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab.
Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Menurut Ustad Ahmad Sarwat Lc, MA, Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi.
Sementara jalur hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana, yang 3 level itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.
Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah tidak murni lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda 50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits yang bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena jarak mereka ke Nabi lebih dekat.
-------
Copas
Langganan:
Postingan (Atom)